Kultur

Tradisi Duata yang Tetap Hidup

×

Tradisi Duata yang Tetap Hidup

Sebarkan artikel ini

Masyarakat Bajo di Wakatobi benar-benar kaya akan warisan kebudayaan. Salah satunya tradisi duata. Duata dalam tradisi Bajo merupakan pengobatan tradisional untuk  mereka yang mengalami sakit berkepanjangan atau tak kunjung sembuh meski dengan pengobatan medis. Duata sendiri berarti dewa yang turun ke bumi dan menjelma sebagai manusia.

Abdullah, saat masih aktif sebagai jurnalis di Wakatobi menulis dengan apik  tentang prosesi duata yang  oleh warga masih dilakoni hingga kini. Duata sendiri tak sembarang dilakukan, ritualnya dipimpin langsung para tetua adat  bajo. Dalam prosesnya,  ritual duata dilakukan di sebuah satu ruangan yang dihiasi janur kuning serta “ula-ula”, bendera kebesaran Suku Bajo yang diyakini membawa keberkahan. Tetua adat kemudian menyiapkan berbagai pelengkap ritual, seperti  beras berwarna-warni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang. Beras warna warni melambangkan warna-warni sifat manusia. Ada pula dupa lengkap dengan alat pembakaran, , daun sirih, kelapa dan pisang.

Setelah semuanya lengkap, tetua adat kemudian memanggil orang yang akan diobati dan membawanya ke laut. Sepanjang perjalanan lagu Lilligo tak pernah putus dinyanyikan diiringi tetabuhan gendang. Prosesi ini biasanya diiringi tarian ngigal para gadis berpakaian adat untuk menyemangati orang yang diobati agar kembali menemukan semangat hidupnya.

Saat tiba di laut, tetua adat menjalankan prosesi larungan; pisang dan beberapa jenis bahan komsumsi serta perlengkapan tidur, berupa bantal dan tikar.

Dalam legenda Bajo, tulis Abdullah, prosesi larung ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Mereka mempercayai bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut.

Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, dipercayai bahwa sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya yang disebut “kaka” dan dibawa ke laut. Sebagian lagi diambil oleh dewa dan di bawa naik dilangit ke tujuh. Sehingga prosesi ini dilakukan untuk meminta kembali semangat hidup yang dibawa ke laut dan kelangit.

Setelah semua prosesi di laut selesai, ritual dilanjutkan dengan memandikan orang sakit  dengan mayah atau  bunga pinang guna membersihkan penyakit yang ada dalam tubuh dan mengusir roh jahat yang menyebabkan sakit. Tetua adat juga akan mengikatkan benang dilengan si sakit sebagai obat. Konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh 7 bidadari sebagai obat bagi si sakit. Dari benang yang sebelunya tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembuh atau tidak.

masyarakat bajo mejalani rutinitas mereka di laut. foto: Joss

Untuk menguji kesembuhannya, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutanya orang sakit tersebut diputari sebanyak beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Ini dilakukan untuk menguji mental orang yang dalam pengobatan.

Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si sakit.

“Bagi orang orang bajo, pelaksanaan tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan saja tetapi juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Tradisi ini juga dilakukan untuk memberikan penghargaan pada penguasa laut yang mereka sebut sebagai Mbo Janggo atau Mbi Gulli,” demikian Mustamin, tokoh adat Bajo Desa Mola Selatan.

Bagi Suku Bajo atau Bajau laut adalah rumah bagi kehidupan mereka, sebab  laut menyediakan mereka bahan makanan dan memenuhi kehidupan lainnya. Di Wakatobi komunitas Bajo tersebar dibeberapa tempat seperti Bajo Mola di Wangi-Wangi, Sampela, Lohoa dan Mantigola di Kaledupa dan Lamanggau di Pulau Tomia. Dalam sejarah masa lampau kehidupan komunitas ini selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain, sehingga Suku Bajo selalu ditemukan dihampir semua negara yang memiliki pesisir pantai. (SK).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *