Kultur

Tolea Pabitara, Seni Para Penutur

×

Tolea Pabitara, Seni Para Penutur

Sebarkan artikel ini

Assamualaikum warahmatullahi wabarakaatu kilaa leu ino moawo bawo-bawo meambo mowee komiu tulura mbine suko ako, moko meambo ikomiu penao,miu keno laa tesa’a aki leu moko gule-gule’i aitaa tewereki ano meambo peawo,ano, hanu mbine suko laha amiu keno laa tesia miu, tano bokeo sumorai, tano okongGa kumamoi, ai petanda,tanda meambo kee sawu miu ai luku,luku meamboe, keno nino tulura sara meambo ai tarima meamboeki ari laha amami, kilaa leu wawei nino hapo-hapo tesia miu ana more mbine,suko akomiu, ai tarima iki aki tarima meamboe, ano lasaraki peawo ano niino osara sambe dunggu ine poehe ako miu… 

Artinya:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh…Kami datang membawa kabar baik, membawa cerita yang akan ditanyakan, agar hati menjadi tentram. Jika ada yang buruknya, maka kami berharap memberi kabar terbaik, biaar kita semua tidak kaget dan hati menjadi tenang. Berita ini adalah sesuatu yang ditanyakan jika ada sekiranya yang hilang dari kalian, berharap bukan karena buaya yang telan atau elang yang terkam dan membawanya pergi. Agar kalian menepis sarung dan melipatnya dengan rapi. Ini cerita adat dari kami maka ada baiknya diterima dengan baik. kami datang membawa barang barang kalian yang hilang yakni anak gadis yang kalian tanyakan, semoga diterima dengan baik dan lancar acara adat sampai tiba waktu yang ditentukan. Wassalam…

‐————

Frasa di atas adalah bagian dari dialog dua orang di hadapan adat kalo sara. Keduanya lazim disebut tolea dan pabitara atau juru bicara adat di tradisi lisan etnis tolaki yang masyhur.

Budaya tolea pabitara, merupakan seni bertutur dari para juru bicara, yang diwakilkan untuk satu urusan tertentu. Seni bertutur yang dituangkan dalam ranah lakon pernikahan, hingga pengambilan keputusan dan pertikaian.

Ya,  masyarakat etnis tolaki memang telah lama mengenal sastra lisan dalam berbagai bentuk, ditandai dengan peninggalan sastra lisan oleh nenek moyang suku bangsa tolaki di masa lalu dan masih dapat disaksikan pada kegiatan adat istiadat seperti perkawinan hingga parade budaya masa kini.

Sayang para pelaku budaya rata rata telah berusia lanjut yang  jumlahnya juga semakin sedikit.

Amola, 60 tahun, salah satu pelakon tolea pabitara asal Konawe Selatan  mengaku prihatin makin langkanya penerus tradisi warisan leluhur orang tolaki. “Rata-rata usianya sudah sepuh,”katanya.

Menjadi tolea pabitara memang tak mudah karena ada banyak syarat yang harus dipelajari, khususnya tata cara membawa adat yang dilakukan secara runut, sesuai tata urutan dan aturannya. “Tidak sembarang orang menjadi juru bicara adat karena ada syarat khusus yang harus dipenuhi, terutama soal penguasaan bahasa dan urutan berdasar aturan adat itu sendiri,”kata Amola. Urutan aturan adat yang dimaksud adalah bagaimana seorang tolea mengetahui tata cara membawakan  kalo sara dan harus bisa membedakan cara membawa kalo sara untuk ditujukan pada putobu atau adat meparamesi kepada pemerintah dan untuk adat perkawinan itu sendiri.

Makin sedikitnya para pelakon juru bicara adat terkadang membuat para pemilik hajatan kesulitan mendapatkan juru bicara adat.

“Saya saja kadang kewalahan melayani permintaan untuk menjadi juru bicara adat, karena setiap saat selalu ada yang menjalani perniikahan,”ungkapnya.

Sebagai pelaku budaya, Ia mengaku kerap menampilkan tradisi lisan saat menggelar kegiatan festival budaya, salah satunya adalah di festival benua. “Sangat penting bagi Kami untuk meneruskan tradisi leluhur ini, agar tidak punah dimakan jaman,”katanya.

Seperti diketahui pengetahuan Sastra lisan atau sastra Rakyat adalah karya sastra dalam bentuk ujaran (lisan), tetapi sastra itu sendiri berkutat di bidang tulisan. Sastra lisan membentuk komponen budaya yang lebih mendasar, tetapi memiliki sifat-sifat sastra pada umumnya.
Masyarakat yang belum mengenal huruf tidak punya sastra tertulis, tetapi mungkin memiliki tradisi lisan yang kaya dan beragam—seperti epik, cerita rakyat, peribahasa, dan lagu rakyat—yang secara efektif membentuk sastra lisan. Sekalipun semuanya disatukan dan dicetak oleh para ahli cerita rakyat dan paremiografer, hasilnya masih disebut “sastra lisan”.

Masyarakat yang mengenal huruf kemungkinan masih melanjutkan tradisi lisan, biasanya di dalam keluarga (seperti pengantar tidur) atau struktur sosial informal. Penyampaian legenda urban dapat dianggap sebagai contoh sastra lisan, sebagaimana lelucon dan puisi lisan.
Berikut bentuk bentuk sastra lisan yang ada di masyarakat tolaki.

Tolea Pabitara merupakan tradisi sastra lisan yang dilakoni dua pria yang mewakili pasangan keluarga yang akan melangsungkan prosesi pernikahan. Termasuk proses penyelesaian masalah keluarga dan masalah berhubungan kasus social di masyarakat.
Secara harfiah, Tolea berarti juru runding adat khususnya dalam kegiatan peminangan atau pernikahan yang sebagian orang dinilai terlampau rumit. Peminangan atau dalam bahasa Tolaki disebut Mowawo Niwule, merupakan salah satu bagian prosesi perkawinan masyarakat suku Tolaki. Dalam melakukan upacara peminangan kedua belah pihak diwakili oleh juru bicara masing- masing yaitu seorang tolea untuk juru bicara pihak laki-laki dan seorang pabitara untuk juru bicara pihak perempuan. Dalam menjalankan adat menggunakan bahasa adat yang literer dan formal yang bertujuan untuk memperindah dan mempertegas maksud penutur kepada mitra tutur.

Tolea bisa juga disepadankan dengan diplomat, sebab tidak terbatas pada urusan perkawinan saja, melainkan urusan adat lainnya seperti perselisihan antara keluarga, kawin lari, hingga perselisihan antara etnis. Peran tolea begitu besarnya dalam kehidupan bermasyarakat etnis Tolaki. Menjadi mediator saat masyarakat bahkan antara pemerintahan yang berselisih

Selain mondolea pabitara sastra lisan lain juga dikenal di masyarakat daratan konawe yakni tradisi Moanggo, merupakan salah satu bentuk sastra lisan masyarakat Tolaki yang biasa disampaikan dengan saling berbalas-balasan secara berkelompok misalnya dari kelompok laki-laki dan perempuan atau juga dalam bentuk monolog (perorangan). Seni sastra ini disampaikan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk mengemukakan serta menyampaikan maksud tertentu baik yang berisi nasehat, percintaan, puji-pujian, sanjungan maupun sindiran. Moanggo di bawakan dengan cara dilantungkan atau dinyanyikan yang biasa dilaksanakan atau disajikan pada acara pesta kampung misalnya pernikahan aqiqah, syukuran dan jenis kegiatan lain yang ada dalam masyarakat Tolaki. Moanggo sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Tolaki yang banyak mengandung nilai kebudayaan, norma-norma sosial dan mengandung nilai moral dapat berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang banyak digunakan oleh orang-orang tua dalam mendidik anak, mengungkapkan sindiran kepada orang yang bersalah, dan juga digunakan oleh pemuda dan pemudi dalam hal mengungkapkan isi hatinya, seperti menyatakan cinta kasih, suka duka, kerinduan maupun kekecewaan. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!