Humaniora

Suara Hati Pedagang Sayur Keliling di Tengah Kenaikan Harga BBM

×

Suara Hati Pedagang Sayur Keliling di Tengah Kenaikan Harga BBM

Sebarkan artikel ini

Langkah kaki perempuan tua ini sejenak terhenti di atas trotoar jembatan di samping sebuah sekolah dasar di kawasan Kemaraya. Bakul sayur yang dijinjing diturunkan dengan hati hati di bahu jembatan. Lalu merapikan kembali posisi sayuran yang sedikit berantakan.

Ini tempat favorit Rabia setiap pagi untuk beristrahat sejenak. Ia berselonjor, mencoba mengatur napas sembari menunggu orang orang berbelanja. Perempuan tiga anak ini juga menjadikan jembatan ini sebagai shelter point sebelum melanjutkan perjalanan menjajakan dagangan ke seluruh gang di wilayah ini.

Di dekat jembatan ini, terdapat beberapa rumah warga yang menjadi langgganannya. Benar saja, seorang ibu rumah tangga keluar dan mendekati Rabia. Perempuan parubaya itu membeli seikat sayur bayam, tomat dan lombok dan sekantung kelapa parut. Rabia sudah hapal betul sayur pesanan setiap panggannya.

Ya, Setiap hari Rabia harus menjinjing sayuran dan bahan makanan lain seberat 30 Kg sejauh 8 KM. Tak ada kata lelah. 20 tahun sudah Ia menjalani profesi sebagai penjual sayur keliling. Ia tak punya pilihan lain pekerjaan, sebab harus menanggung beban ekonomi keluarganya. Suaminya yang hanya seorang buruh tak dapat Ia andalkan. “Makanya Saya harus kerja juga membantu keluarga,”ucapnya.

Selain untuk kebutuhan makan minum, perempuan ini memang butuh tambahan uang agar anaknya bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Kenaikan harga BBM oleh pemerintah membuat ongkos sewa mobil ikut naik. Ini tentu saja menambah beban bagi Rabia.

Sedikitnya Ia harus mengeluarkan dana transportasi sebesar 25.000 rupiah untuk setiap harinya. Jarak tempuh yang dilaluinya pun lumayan jauh. Ia naik angkutan kota dari dari rumahnya di Kelurahan Alolama ke bundaran mandonga. Agar tidak dimakan ongkos angkot, maka Ia memutuskan untuk lebih banyak jalan kaki menjinjing jualannya dari Mandonga ke wilayah kemaraya yang berjarak 3 Km.

“Dari rumah ke lokasi jualan saya dua kali naik pete pete, pulang pergi. Jadi coba hitung, sekarang sewa pete pete (angkot) sudah naik 7 ribu, makanya lebih banyak jalan kaki dulu,”ungkapnya.

Ia mengaku berjalan kaki menjinjing bakul seberat 30 Kg dari jalan poros depan kampus UHO kemaraya ke gang pemukiman warga di Kelurahan Lahundape dan Kelurahan Watuwatu.

Nasib Rabia tampaknya mewakili pululhan atau mugkin ratusan penjual sayur keliling di Kota Kendari di tengah makin seretnya hidup akibat kenaikan semua harga kebuhutan pokok. Sungguh miris nasib pedagang kecil di negeri ini, yang hanya berjualan sayur demi bertahan hidup, bukan untuk menjadi kaya. sk

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *