Historia

Stigma Doti di Pulau Wawonii

×

Stigma Doti di Pulau Wawonii

Sebarkan artikel ini
Petani kelapa di Wawonii. foto: JossHasrul

Langkah kaki Zain kian cepat melewati lebatnya hutan desa Lampeapi. Menyusuri jalan setapak sejauh lebih dari 12 KM. Sepucuk senapan dipanggulnya erat-erat. Pikirannya terus berkecamuk, ingin segera sampai di rumah Lapoe, pemuda desa Lampeapi yang terkenal sakti mandraguna.

Saat tiba, tanpa basa-basi Zain langsung berteriak memanggil Lapoe dan menantangnya duel. “Lapoe keluar kau !! kalo memang kamu jago kamu lawan saya sekarang,”kata Zain pada Lapoe. Mendengar tantangan itu, Lapoe keluar rumah menemui Zain. Ia hanya terdiam tanpa berani menatap wajah Zain yang sudah memerah.

“Lapoe, Saya dengar Kamu punya ilmu dan punya peliharaan empat puluh kuntil anak, kalo kamu jago kamu lawan saya sekarang!! Dan ingat kalau terjadi apa-apa sepulangnya saya dari sini, maka saya akan kembali mencari Kamu,”ancam Zain.

“Kamu ingat kata-kata saya, kalau ada kupu-kupu masuk di rumaah saya atau saya batuk-batuk maka saya akan kembali cari kamu,”ujar Zain menebar ancaman.

Ancaman Zain membuat nyali Lapoe kian ciut. “Tidak pak, pikiran Saya tidak sampai ke situ pak, saya janji tidak akan ganggu bapak”kata Lapoe.

Mendengar pengakuan Lapoe, hati Zain sedikit lega. Setidaknya kekalutan hati sudah terobati. Hari itu juga Ia memutuskan kembali ke Desa Langara.

Perseteruan dengan Lapoe bukan tanpa sebab. Bermula saat Zain mendapat laporan berupa keluhan warga Lampeapi atas ulah Lapoe yang kerap menganggu warga melaksanakan shalat tarawe di bulan ramadhan. “Saat sedang sujud, Lapoe selalu memegang kemaluan para wanita, sehingga membuat pelaksanaan shalat jadi kacau,”kata Zain.

Mendapat laporan, Zain lalu memanggil Lapoe dan menanyakan kebenaran pengakuan warga. Namun, Lapoe tidak sedikit pun menjawab pertanyaan Zain. Sikap Lapoe membuat amarah Zain pecah dan menempeleng wajah lelaki setengah baya itu. Tak cukup Zain menantang Lapoe berkelahi. “Saya dengar kamu kebal, kalo kamu lak-laki kamu lawan saya sekarang,”tantang Zain. Ditantang berkelahi Lapoe bergeming.

Usai kejadian itu beberapa warga kemudian datang menemui Zain, mereka menceritakan tentang kesaktian Lapoe yang memelihara 40 kuntil anak.

Sebenarnya dalam hati, Zain sedikit khawatir setelah mendengar cerita warga tentang kesaktian Lapoe yang terkenal kebal dan konon memiliki peliharaan 40 kuntil anak. Sejumlah warga lampeapi, bahkan mengaku sudah membuktikan kebenaran ihwal cerita peliharaan Lapoe, sebab, saban malam wujud setan peliharaan Lapoe kerap terlihat dan menganggu warga sekitar. Namun perasaan takut itu dibuangnya jauh-jauh. Ia lalu memutuskan mencari Lapoe dan menantangnya berduel.

Kisah Zain di atas merupakan satu dari banyak cerita kehidupan dunia hitam wawonii. Memberi bukti, bahwa, wawonii sejak lama telah diasosiasikan sebagai pulau gudangnya ilmu hitam. Tak heran banyak orang luar yang enggan menginjakkan kaki ke wawonii karena takut terkena santet atau oleh warga setempat disebut doti. Misalnya saja, cerita doti yang bisa membuat kepala manusia menjadi lembek, atau kemaluan yang tertempel di dinding.

Bagi sebagian orang cerita mistis itu benar adanya, namun ada pula yang menganggap cerita doti hanya mitos belaka, yang sengaja dihembuskan agar potensi alam wawonii tidak dieksploitasi oleh orang luar.

Zain sendiri sebenarnya tak terlalu peduli dengan cerita mistis itu, bahkan, beberapa kali Ia pernah berseteru dengan orang lokal yang terkenal berilmu tinggi. Baginya, semua stigma itu hanya membuat wawonii menjadi terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Namun, perseteruan dengan Lapoe member pelajaran penting tentang hidup di negeri orang.

Zain adalah polisi berpangkat sersan. Ketika itu Ia masih berusia muda. Tahun 1979 adalah kali pertama Zain menginjakkan kaki di Pulau Wawonii. Sebagai anggota polisi Ia betugas menjaga keamanan warga di wilayah wawonii dan sekitarnya. Desa Langara dipilihnya untuk menetap. Saat Zain bertugas, camat wawonii dipimpin oleh Melamba yang baru beberapa bulan bertugas menggantikan Arifuddin Djohansyah yang dipindah tugaskan sebagai pembantu bupati di wilayah Lainea, Kabupaten Konawe Selatan (kini).

Pertama bertugas di Langara, Zain betul-betul merasakan kesusahan hidup di pulau ini. Baginya Wawonii tak ubahnya sebagai daerah ‘mati’, di mana rumah-rumah warga masih bisa dihitung jari. Tak ada sarana listrik apalagi sarana komunikasi. “Saat malam tiba, pulau ini sangat gelap, saat mau jalan malam saya selalu mengacungkan keris ke depan, supaya kalau ada yang jahat bisa langsung kena keris,”ujarnya sembari tertawa.

Zain mendapati kosentrasi penduduk wawonii ketika itu terpecah-pecah dan lebih banyak berada di wilayah Lampeapi. Walau sebenarnya Langara sudah menjadi pusat kecamatan ketika itu. Rumah-rumah di Langara masih sebagian besar dihuni etnis Bajo, mereka hidup dan menetap di pinggir laut dengan kondisi rumah sangat tradisonal, bahkan sebagian masih hidup di atas perahu. Di Langara, pedagang bugis hanya ada dua orang yang khusus mengumpulkan hasil bumi. Para pedagang kerap “menjual” nama Zain yang terkenal seantero pulau wawonii saat berniaga ke pelosok.

Dalam realitas kehidupan masa lalu hingga berganti jaman, warga sendiri tidak menampik adanya ilmu hitam. Bahkan, sebagian warga bangga dengan status itu. Tak heran ilmu hitam kerap menjadi bahan permainan anak-anak muda untuk saling mengetes kesaktian, misalnya saat pesta adat atau pesta perkawinan, biasanya dibarengi dengan pesta minum-minum tuak. Pada saat itulah para pemuda saling memperlihatkan kelebihan, misalnya, menggigit beling botol/gelas, menolak racun, dll.
Ilmu hitam atau tenung secara umum biasanya merujuk pada penggunaan kekuatan gaib atau sihir untuk tujuan jahat dan egois. Sehubungan dengan dikotomi kiri dan kanan, ilmu hitam adalah lawan atau kebalikan dari ilmu putih. Jadi ilmu hitam bisa dibilang merupakan aliran “kiri” yang bertentangan dengan ilmu putih yang memanfaatkan ilmu gaib untuk kebajikan. Di zaman modern, beberapa orang menganggap bahwa definisi ilmu hitam telah diputarbalikkan oleh orang-orang yang mendiskreditkan sihir atau ritual tertentu yang mereka tentang, dengan mencapnya sebagai ilmu hitam.
Ilmu hitam telah dikenal sejak sangat lama di Nusantara, dan mempunyai banyak sebutan lokal seperti sikir (Jawa) atau teluh (Sunda) dan di Sulawesi Tegggara disebut Doti. Pengaruh budaya populer telah memungkinkan praktik-praktik lain berkembang bawah panji-panji ilmu hitam, termasuk konsep Setanisme. Namun, meskipun pemanggilan setan atau roh adalah bagian yang diterima dari ilmu hitam, praktik ini berbeda dari pemujaan atau pendewaan makhluk spiritual tersebut.
Beberapa “orang pintar” sekaligus tokoh di wawonii mengaku ilmu hitam menjadi bagian hidup sebagian warga wawonii, mulai masa lampau hingga jaman modern kini. Misalnya, saja ilmu yang membuat kebal, ilmu jaga diri hingga ilmu tak tertembus peluru. Ada juga ilmu yang dipakai untuk menggaet perempuan, atau ilmu santet yang bisa membuat orang kehilangan kesadaran/gila.

Namun pandangan berbeda datang dari Rahman, penggiat LSM di Wawonii, baginya, Doti atau ilmu hitam hanyalah sebuah stigma yang dibangun oleh orang-orang di masa lalu, yang tidak ingin Wawonii maju dan berkembang setara dengan daerah lain di Sultra. Narasi buruk ini dibangun untuk menguasai wawonii yang kaya akan sumber daya alam. Itu pula yang membuat daerah ini di masa lalu menjadi terisolir dan tidak dikunjungi banyak orang akibat infrastruktur di Wawonii sangat sedikit yang terbangun.

***

Naskah dan Foto: Joss Hasrul

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *