Historia

Sejarah Masuknya Transmigrasi di Konawe Selatan

×

Sejarah Masuknya Transmigrasi di Konawe Selatan

Sebarkan artikel ini
Bupati Konawe Selatan saat membuka kegiatan keagamaan warga Bali. foto: Humas Konsel

Bagi warga asli Konawe Selatan, warga transmigrasi asal Bali dan Jawa sudah seperti saudara sendiri. Begitu sebaliknya, warga transmigrasi menganggap, bahwa, konawe selatan seperti kampung sendiri dan tidak lagi meminta untuk kembali daerah asal mereka. Mereka telah bermukim berpuluh tahun, beranak pinak dan hidup bersama berdampingan dengan warga lokal. Tanpa sekat, tanpa perbedaan, semua hidup rukun dan penuh toleransi di atas tanah Konawe yang subur.

“Konawe Selatan adalah sudah menjadi Kampung Kami, tempat dimana Saya lahir dan berusaha,”kata Wayan, warga Jati Bali, Konawe Selatan.

Pemerintah Konawe Selatan saat membuka kegiatan keagaaman warga Bali. foto: Humas Konsel

Kehadiran warga transmigrasi telah banyak memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah. Bahkan di pemerintahan tidak sedikit warga Bali yang menjadi abdi daerah, baik itu guru, PNS termasujk di legislative warga transmigrasi telah memiliki wakil mereka. Ini kebersamaan yang dibangun Pemda konawe selatan dengan tidak memandang orang dari mana, suku, agama sehingga konsel dapat maju bersama dengan masyarakatnya.

Warga transmigrasi di Konawe Selatan telah ada sejak tahun 1968 yang ditandai dengan dibukanya daerah permukian warga di daerah Jati Bali, Kecamatan Ranomeeto. Sejak hadir keberadaan warga transmigrasi  di daerah ini sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan warga local, termasuk sumbangsih dalam pembangunan daerah cukup positif, khususnya disektor perkebunan dan pertanian.

Saat ini jumlah penduduk Konawe Selatan berjumlah 2308.524 ribu jiwa yang tersebar di 25 kecamatan dan 336 desa, dari jumlah tersebut diperkirakan, lebih dari 30 persen adalah warga transmigrasi, bahkan terkhusus untuk masyarakat Bali di konawe selatan  telah menyebar di 43 desa yang secara keseluruhan warga bali sejak tahun 1968 itu sebanyak 1663 kepala keluarga.

Keberadaan ekonomi warga transmigrasi di konawe selatan boleh dibilang mengalami kemajuan pesat dari waktu ke waktu, mereka hidup berkecukupan dan sejahtera. Begitu juga sumber daya alam yang dikelola cukup signifikan dan membawa daerah ini sebagai daerah penghasil pertanian, perkebunan dan peternakan yang disuplai ke kota kendari dan beberapa daerah kabupaten di sulawesi tenggara. Keberadaan warga transmigrasi yang telah mengadopsi system pertanian dari daerah asal mereka. Mereka turut membagi pengetahuan bertani pada masyarakat local Tolaki.

Meski begitu, Konawe Selatan bukan pertama kali bermasalah dengan penempatan transmigrasi. Tahun 2006 silam Pemerintah Jawa Tengah merasa berang dengan ulah pemerintah Kabupaten Konawe Selatan yang dianggap menelantarkan warganya. Karena transmigrannya terkatung-katung selama di lokasi transmigrasi di Kabupaten Konawe Selatan, Pemprov Jateng pun memutuskan hubungan dengan Pemprov Sulawesi Tenggara dengan tak mengirim lagi warganya ke daerah tersebut.

Pemerintah Sulawesi Tenggara dinilai terbukti menelantarkan transmigran asal Jateng sebanyak 38 KK. Pasalnya, kawasan yang diberikan pemerintah setempat digenangi air hingga setinggi satu meter. Tentu saja, para transmigran tersebut tak bisa menempati rumah dan menggarap lahan mereka pada wawancara wartawan (20/6/2006). Perlakuan pemerintah di lokasi transmigrasi tidak sesuai dengan kontrak. Kawasan yang ditempati para transmigran pun berbeda dengan hasil survei yang dilakukan Pemprov Jateng dan Sultra. Bagi Pemda Jawa Tengah ini merupakan kejadian pertama yang dialami warganya. Setelah kejadian ini, mereka berpikir untuk tidak mengirimkan transmigran lagi ke Sultra Srimoyo menjelaskan, ribuan transmigran asal Jateng yang sudah menempati lokasi di 17 provinsi yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi, tak pernah ada masalah. Pada tahun itu tercatat 4.500 warga telah mendaftar sebagai transmigran.

Mengenai transmigran yang terkatung-katung di Sultra, Pemda Jawa Tengah meminta pemprov setempat menanggung seluruh biaya pemulangan, sesuai yang tertuang dalam kontrak kerjasama, dimana disebutkan, Pemprov Sultra bertanggung jawab soal penyiapan lahan dan biaya pemulangan. Transmigran yang terkatung-katung di Sultra terdiri merupakan bagian dari warga yang dikirim enam bulan lalu dan terdikri 9 KK asal Brebes, Kota Tegal (10 KK), Kendal (21 KK), Pekalongan dan Kudus masing-masing 5 KK.

Meski sudah kerap menabur masalah, namun pemda Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara tetap saja membuka peluang program transmigrasi di wilayahnya. Dan terbukti tahun 2013 pemkab Konawe selatan kembali menempatkan 167 kepala keluarga transmigran dari beberapa daerah di Pulau Jawa di Unit Permukiman Transmigrasi II Amohola, Kecamatan Moramo.

Dana untuk membiayai warga yang akan bertransmigrasi tersebut lebih dari Rp15 miliar, bersumber dari alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI.

Dana sebanyak itu, selain untuk membiayai pembangunan 167 unit rumah yang akan ditempati dan pengolahan lahan usaha pekarangan, juga sebagai jaminan hidup selama satu tahun dan biaya obat-obatan termasuk pengadaan pupuk tanaman. Kalau dalam jangka waktu satu tahun hasil pertanian para transmigran belum mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka sehari-hari, pemerintah memperpanjang pemberian jaminan hidup hingga satu tahun lagi.

Jaminan hidup yang akan diberikan kepada warga transmigran tersebut berupa sembilan bahan pokok termasuk minyak goreng, ikan asin dan sabun cuci. Selain fasilitas perumahan, di lokasi permukiman transmigrasi juga dibangun fasilitas air bersih dan sarana mandi cuci kakus atau MCK serta fasilitas umum berupa tempat ibadah dan sarana kesehatan, Puskemas. Fasilitas air bersih yang dibangun di lokasi permukiman transmigrasi, juga dialirkan ke rumah-rumah warga lokal yang dekat dengan unit permukiman tersebut.

Diakui pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, kehadiran transmigran di Konawe Selatan sejak tahun 2003, telah memberi kontribusi besar bagi kabupaten tersebut, terutama pembangunan bidang pertanian. Hampir semua produk pertanian yang membanjiri Kendari dan kota-kota lain di Sultra saat ini, berasal dari hasil budidaya warga transmigran di Konawe Selatan. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *