HistoriaHukumOpini

Ruang Pertambangan di Konawe Kepulauan

×

Ruang Pertambangan di Konawe Kepulauan

Sebarkan artikel ini

 

Permohonan judicial review Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Dan Wilayah Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2022 (Perda RTRW) Kabul. Dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor: 57 P/HUM/2022, Pulau Wawonii-Konawe kepulauan tidak boleh dijadikan kawasan pertambangan.

Lahirnya putusan MA menebalkan kepercayaan diri masyarakat Wawonii yang anti tambang. Kampanye penolakan tambang terhadap PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) makin massif digaungkan.

Putusan MA menarik, sebab mengakhiri silang pendapat kebolehan melakukan kegiatan penambangan dipulau-pulau kecil. Ada 3 (tiga) alasan MA dalam amar pertimbangannya menyatakan Pulau Wawonii tidak boleh ada kegiatan pertambangan.

Pertama, Pasal 1 angka 3 UU 27/2007 Juncto UU 1/2002, Konawe Kepulauan termasuk kategori pulau kecil, yang prioritas pemanfaatannya sebagaimana dalam Pasal 23 ayat (2) tidak menempatkan kegiatan pertambangan sebagai salah satunya. Kedua, secara filosofis Kabupaten Konawe Kepulauan adalah pulau kecil yang rentan dan sangat terbatas sehingga membutuhkan perlindungan khusus. Kegiatan pertambangan dikategorikan sebagai abnormal dangerous activity, yang dalam teori hukum lingkungan harus dilarang untuk dilakukan karena akan mengancam kehidupan seluruh makhluk hidup diatasnya, baik flora, fauna maupun manusianya. Ketiga, secara sosiologis penetapan kawasan pertambangan bukanlah merupakan kebutuhan masyarakat Kabupaten Konawe Kepulauan, yang sumber mata pencariannya mayoritas bertani/berkebun.

Lantas bagaimana sisi hukumnya. Apakah dengan lahirnya putusan MA otomatis mengakibatkan ketidakbolehan kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii?. Dalam pandangan penulis hal tersebut tidak dapat berlaku otomatis.

Amar putusan MA yang membatalkan keberlakuan pasal-pasal penetapan kawasan pertambangan di Pulau Wawonii tidak dapat diberlakukan secara brutal, menghentikan aktivitas pertambangan yang sedang berjalan.

Penghentian kegiatan pertambangan di Konawe Kepulauan dapat terjadi jika IUP Operasi Produksi dicabut. Sebab usaha pertambangan legalitasnya bersandar atas IUP Operasi Produksi bukan atas Perda RTRW.

Akan tetapi,kaidah hukum dalam amar pertimbangan putusan MA yang menegaskan larangan aktivitas pertambangan di pulau kecil dapat dijadikan rujukan bagi instansi berwenang untuk mengambil langkah progressif, cabut IUP Operasi Produksi yang ada di Pulau Wawonii.

Pasal Kawasan Pertambangan

Terdapat 3 (tiga) pasal Perda RTRW Konawe Kepulauan dalam putusan MA yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Diantaranya, Pasal 24 huruf d, Pasal 28 dan Pasal 36 huruf c.

Substansi ketiga pasal tersebut mengatur penetapan kawasan pertambangan mineral dan logam seluas 41 Ha (empat puluh satu hekta are) di wilayah Kecamatan Wawonii Tenggara dan Wawonii Timur.

Dalam konteks penerapan hukum Perda RTRW, Kebatalan atas 3 (tiga) pasal tersebut tidak memberikan implikasi serius atas ruang kawasan pertambangan di Pulau Wawonii.

Alasannya, jika memeriksa secara teliti Perda RTRW Konawe Kepulauan, pasal-pasal yang dibatalkan secara faktual adalah norma yang bersifat tidak dapat diterapkan atau kehilangan daya laku.

Mengapa Pasal 24 huruf d, Pasal 28 dan Pasal 36 c Perda RTRW kehilangan daya laku? sebab area 41 Ha (empat puluh satu hekta are) kawasan pertambangan di Kecamatan Wawonii Tenggara yang dimaksud oleh ketiga pasal tersebut adalah konsesi wilayah pertambangan PT Derawan Berjaya Mining. Faktanya IUP Produksinya telah dicabut pada medio tahun 2022.

Artinya, meskipun tanpa ada pembatalan atas ketiga pasal melalui putusan MA, tidak mungkin ada aktivitas pertambangan di area dimaksud karena ketiadaan IUP Produksi Pertambangan yang masih berlaku pada wilayah itu.

Sebaliknya, pengakuan atas keberadaan kawasan pertambangan mineral logam masih ada dan berlaku dalam Perda RTRW Konawe Kepulauan. Hal ini dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 25 ayat (3), (5) dan (7) Perda RTRW Konawe Kepulauan.

Dalam pasal 25 ayat (3), (5) dan 7 Perda RTRW tersebut disebutkan kurang lebih 2.047 Ha (dua ribu empat puluh tujuh hekta are) kawasan pertambangan mineral dan logam yang tersebar di Kecamatan Wawonii Barat dan Wawonii Tengah.

Disayangkan, Pasal 25 ayat (3), (5) dan (7) Perda RTRW Konawe Kepulauan luput/tidak ikut menjadi objek dalam Judicial Review tersebut.

Mengakhiri Perdebatan

Di Pulau Wawonii, kegiatan usaha pertambangan yang eksis yakni PT GKP. Melalui pemberitaan media, diketahui PT GKP bukan hanya mengantongi IUP Operasi Produksi, namun juga memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) karena nyaris seluruh Areal wilayah pertambangannya masuk dalam kawasan hutan.

Lantas bagaimana kapasitas putusan MA yang menegaskan Pulau Wawonii sebagai pulau kecil tak boleh ada aktivitas pertambangan dikaitkan dengan kegiatan usaha pertambangan PT GKP?. Kegiatan usaha pertambangan PT GKP dapat berjalan selama IUP Operasi Produksi dan IPPKH masih berlaku.

Bersandar pada UU 3/2020 tentang perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, maka kegiatan usaha pertambangan dapat dilakukan sepanjang memiliki izin usaha pertambangan, bentuknya IUP Operasi Produksi.

Sedangkan jika areal pertambangan masuk dalam wilayah Kawasan hutan, untuk dapat menambang tak cukup dengan IUP Operasi Produksi. Wajib dilengkapi dengan IPPKH yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan RI.

Hal yang perlu dipahami adalah status penetapan ruang dan wilayah adalah pedoman bagi penyelenggara negara/pejabat berwenang dalam menerbitkan izin. Apakah izin usaha pertambangan yang akan diberikan memiliki kecocokan secara ruang dan wilayah. Disinilah keterkaitannya.

Khusus kegiatan pertambangan di Pulau Wawonii, masalahnya terletak pada pihak berwenang yang menerbitkan IUP Operasi Produksi dan IPPKH PT GKP, yakni Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kementerian Kehutanan RI.

Saat menerbitkan IUP OP dan IPPKH kepada PT GKP, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Menteri Kehutanan RI mengabaikan peraturan yang mengatur ruang atas pulau-pulau kecil. Padahal pasal 35 huruf k UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang ruang pertambangan.

Memang ada perdebatan atas larangan kegiatan pertambangan dalam pasal 35 huruf k UU 27/2007. Banyak pihak beranggapan larangan dimaksud pada Pasal 35 huruf k UU 27/2007 berlaku jika penambangan dapat berakibat pada gangguan ekologis. Sepanjang akibat tersebut dapat dihindarkan, maka usaha pertambangan dimaknai suatu kebolehan.

Pandangan demikian nampaknya mengilhami Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kementerian Kehuatanan RI saat menerbitkan IUP Operasi Produksi dan IPPKH kepada PT GKP di Pulau Wawonii, kendati berada di pulau-pulau kecil.

Namun anggapan demikian sepatutnya dihentikan. Kaidah hukum dalam pertimbangan putusan MA telah mengurai secara expressive verbis bahwa tak boleh ada kegiatan pertambangan diatas pulau kecil.

Konsekuensi hukum yang logis atas putusan MA yang melarang aktivitas pertambangan di Pulau Wawoni, yakni ragam produk hukum yang menetapkan Pulau Wawonii sebagai wilayah pertambangan semestinya ikut disesuaikan.

Bentuknya penyesuaiannya dapat berupa: revisi atau dicabut. Sebab jika tidak, maka seluruh aktivitas pertambangan PT GKP atas dasar IUP Operasi Produksi dan IPPKH di Pulau Wawonii tetap dipandang sah dan legal.

Hal lain, produk hukum semisal Keputusan Menteri ESDM No.104.K/MB.01/MEM.B/2022 yang substansinya menyatakan Pulau Wawonii termasuk areal yang dapat dilakukan kegiatan pertambangan,segera direvisi.

Berlaku sama atas Peraturan Daerah Provinsi Sultra Nomor 2 Tahun 2014 tentang RTRW Provinsi Sulawesi Tenggara 2014-2034 yang menyebut Kabupaten Konawe Kepulauan adalah bagian dari wilayah pertambangan. Perlu diubah.

Tak ada lagi alasan pemerintah pusat dan daerah untuk tidak mempedomani kaidah hukum dalam amar pertimbangan putusan MA. Sebagaimana azasnya rex judicata proveritate habitur (apa yang telah diputus hakim harus dianggap benar).

Penulis: Baron Harahap

Advokat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *