Humaniora

Romansa “Mai Tora” Saksi Sejarah Perkembangan Kendari Beach

×

Romansa “Mai Tora” Saksi Sejarah Perkembangan Kendari Beach

Sebarkan artikel ini
Semula saya mengira beliau saudagar bugis makassar, mengingat selama ini pedagang kuliner di pusat hiburan Kendari Beach di dominasi saudara saudara kita asal Sulawesi Selatan. Tapi pria tua ini mengejutkan Saya, setelah menjawab arti nama kedai miliknya itu.
“Mai tora berasal dari bahasa Muna yang artinya datang kembali,”kata Haji Manete. Saya berbincang dengannya usai beliau melaksanakan shalat Isya, di sudut keedai miliknya di kawasan Kendari Beach, Rabu malam.
“Jadi Pak haji ini orang Muna ya?,”tanyaku.
“Iya, Saya orang muna asli,”jawabnya, tersenyum.
  Haji Manete pemilik kedai mai tora di Kendari Beach ini sudah berjualan pisang epe sejak tahun 1970-an, tepatnya sejak kawasan Kendari Beach baru dibuka pertama kali.
“Dulu saya berjualan di sana, di pinggir jalan besar itu. Itu adalah lokasi pertama kawasan pedagang kaki lima kendari beach,”ungkapnya.
Manete menjadi saksi hidup perkembangan kawasan kendari beach. Dan lokasi yang ditunjuk itu berada kawasan dua jalur yang sekat jalurnya ditumbuhi pohon sawit di jalan Ir.Soekarno, Kota Kendari. “Jadi kawasan itu yang dulu merupakan jalan dua jalur dan menjadi pusat keramaian kendari era jadul,”cerita pria uzur beranak tiga itu.
Baginya, waktu begitu cepat berlalu, dan jaman ikut mengubah wajah kendari beach. Tak hanya tata letak kawasan berjualan yang berubah, tetapi orang berikut fungsi kawasan kulinernya.
“Dulu orang yang berjualan mungkin hanya ada puluhan begitu juga pembeli sangat terbatas, tapi sekarang sudah ada ratusan penjual di sini,”katanya.
Kawasan kini kian ramai saat pemerintah kota mengijinkan para pedagang campuran berjualan di bahu jalan saat malam hari. Di sisi lain ekonomi masyarakat berkembang, tapi di sisi lain menjadi problem baru bagi kawasan kendari beach, yakni, kekumuhan. Kendari beach tak ubahnya seperti pasar malam, dimana para pedagang berjejal menguasai lokasi di bibir pantai. Fungsi kawasan ini jelas telah berubah, dari kawasan kuliner dan area publik menjadi pasar malam.
Perubahan fungsi kawasan jelas tak selaras lagi dengan produk peraturan daerah (perda ) kota kendari, terkait penataan kawasan publik. Jadi kalau pasar malam digelar itu jelas tak bersesuaian dengan perda kota kendari. Harusnya perda itu ditinjau kembali keberadaannya. Mungkin Saya bisa dikoreksi kalau salah.
Kendari beach sejak dulu menjadi pusat hiburan sekaligus ikonik wajah kota kendari. Lokasinya berada di tepi teluk kendari. Teluk Kendari dan Kendari Beach oleh masyarakat setempat memang tak mungkin dipisahkan, kawasan keramaian yang berada di tengah-tengah Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di Teluk Kendari terdapat beragam area publik. Teluk ini berbatasan dengan kecamatan Kendari Barat, Mandonga, Poasia, dan Abeli, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Teluk ini tidak dipisahkan dengan sejarah perdagangan masa lampau karena dulu menjadi persinggahan para pedagang dari nusantara dan bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda).
Teluk Kendari posisinya cukup unik, karena membentang di tengah-tengah kota. Menjorok agak ke tengah teluk ini, terdapat bangunan Masjid Al Alam, kebanggaan masyarakat Kota Kendari, Sulawesi Tenggara yang dibangun pada masa Gubernur Nur Alam memerintah di Provinsi Sulawesi Tenggara, tahun 2010. Pemerintahan Kota Kendari berupaya menjadikan teluk ini sebagai tempat wisata bahari yang menarik di Kota Kendari dengan menjalin investor dari pihak swasta.
Kendari Beach tak hanya tempat bersantai, tetapi menjadi tempat warga mengais rezeki. Dari berjualan pisang epe Manete sudah sudah berhaji dan berhasil menyekolahkan tiga anaknya hingga di perguruan tinggi. “Alhamdulillah semua anak-anak sudah sarjana dan sudah bekerja,”kata warga fajar merantau, kelurahan punggaloba, kendari barat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *