Pemilu 2024

Presiden dan Menteri Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres 2024: Ketika Etika Politik Dikesampingkan demi Kepentingan Pribadi

×

Presiden dan Menteri Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres 2024: Ketika Etika Politik Dikesampingkan demi Kepentingan Pribadi

Sebarkan artikel ini

Jakarta, suarakendari.com-Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa presiden dan menteri diperbolehkan berkampanye dan memihak dalam Pilpres 2024 mendapat kritikan dari Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Fadli Ramadhanil, Manajer Program Perludem, menyatakan bahwa pernyataan Jokowi tersebut dapat menyebabkan kecurangan dan keberpihakan dalam pemilu yang tidak adil.

Perludem menduga bahwa pernyataan Jokowi tersebut bertujuan untuk menguntungkan satu kandidat tertentu dalam Pilpres 2024. Sikap ini dapat menjadi pembenaran bagi presiden dan menteri lainnya untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan mereka. Dalam situasi ini, masalah netralitas kabinet Jokowi, konflik kepentingan, dan dugaan penyalahgunaan fasilitas negara menjadi sorotan.

Perludem menyoroti pernyataan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan yang membagikan bantuan sosial dengan menyebutnya sebagai “bansos dari Jokowi,” dan mengajak orang untuk memilih Prabowo jika ingin menerima bantuan sosial lebih lanjut. Menurut Fadli, pernyataan tersebut merupakan kesalahan dan jelas-jelas bertentangan dengan demokrasi yang sehat.

Jokowi memang mengeluarkan pernyataan tersebut setelah Mahfud MD, calon wakil presiden nomor tiga, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko Polhukam. Salah satu alasannya adalah karena ingin menghindari konflik kepentingan yang mungkin timbul.

Pernyataan Jokowi tersebut setidaknya telah memicu perdebatan dalam masyarakat menjelang pesta demokrasi. Dalam konteks ini, masyarakat dibuat bertanya-tanya: apakah ini benar-benar merupakan etika politik yang sehat? Apakah presiden dan menteri seharusnya memihak dan berkampanye dalam pemilihan umum? Ataukah hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang memerlukan netralitas dan objektivitas dalam penyelenggaraan pemilihan umum? Etika politik yang sehat harus memastikan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum berlangsung secara adil dan netral. Pernyataan yang memberi ruang bagi kecurangan dan keberpihakan hanya akan merusak semangat demokrasi dan mengurangi kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi,”tanyanya.

Dalam hal ini, kita sebagai warga negara perlu mempertanyakan kontribusi apa yang dapat kita berikan sebagai warga negara dalam memperbaiki sistem politik kita. Politik adalah usaha bersama untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Masing-masing individu memiliki peran penting untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan etika politik yang sehat diterapkan dalam setiap tahap proses politik.

“Penting bagi kita untuk terus mengingatkan pemerintah bahwa netralitas, objektivitas, dan integritas harus tetap menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Demokrasi yang sehat harus menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan partikular. Mari bersama-sama memperbaiki etika politik dan mewujudkan sistem politik yang lebih baik dan sehat untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa kita,”ungkap Fadli. SK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *