Historia

Polisi Tidak Berubah

×

Polisi Tidak Berubah

Sebarkan artikel ini

Soal watak kekerasan, sama sekali tak ada perubahan di wajah institusi Kepolisian Republik Indonesia. Ini terlihat dari eskalasi kasus kasus kekerasan yang dialami jurnalis di negeri ini yang   pelaku didominasi oknum polisi. Di bulan ini saja sudah dua kasus kekerasan fisik dialami wartawan oleh oknum polisi.

Pertama, kasus kekerasan di Sulawesi Tenggara, menimpa wartawan harian berita kota kendari saat meliput aksi unjuk rasa di kantor balai latihan kerja kendari, pelakunya adalah petugas polisi tang bertugas menjaga aksi unjuk rasa. Meski korban telah memperlihatkan id cardnya, tetapi polisi terus menghajar korban. Kedua terjadi di surabaya, dialami wartawan tempo. Bahkan, tindakan penganiayaan jurnalis Tempo ini di  luar batas , telah Melanggar hukum dan prinsip kebebasan pers.

Peristiwa penganiayaan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi, Sabtu 27 Maret 2021, merupakan serangan terhadap kebebasan pers dan melanggar KUHP serta Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Tempo mengutuk aksi kekerasan tersebut dan menuntut semua pelakunya diadili serta dijatuhi hukuman sesuai hukum yang berlaku.

Kekerasan yang menimpa Nurhadi terjadi ketika dia menjalankan penugasan dari redaksi Majalah Tempo untuk meminta konfirmasi kepada mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Angin Prayitno Aji. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menyatakan Angin sebagai tersangka dalam kasus suap pajak.

Penganiayaan terjadi ketika sejumlah pengawal Angin Prayitno Aji menuduh Nurhadi masuk tanpa izin ke acara resepsi pernikahan anak Angin di Gedung Graha Samudera Bumimoro (GSB) di kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan laut (Kodiklatal) Surabaya, Jawa Timur, pada Sabtu 27 Maret 2021 malam. Meski sudah menjelaskan statusnya sebagai wartawan Tempo yang sedang menjalankan tugas jurnalistik, mereka tetap merampas telepon genggam Nurhadi dan memaksa untuk memeriksa isinya.

Nurhadi juga ditampar, dipiting, dipukul di beberapa bagian tubuhnya. Untuk memastikan Nurhadi tidak melaporkan hasil reportasenya, dia juga ditahan selama dua jam di sebuah hotel di Surabaya.

Tempo menilai kekerasan ini merupakan tindak pidana yang melanggar setidaknya dua aturan yakni pasal 170 KUHP mengenai penggunaan kekerasan secara bersama-sama terhadap orang atau barang, dan pasal 18 ayat 1 UU Pers tentang tindakan yang menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik. Ancaman hukuman untuk pelanggaran ini adalah seberat-beratnya lima tahun enam bulan penjara.

Atas peristiwa ini, redaksi Tempo meminta Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menindaklanjuti kasus kekerasan terhadap jurnalis Tempo dan memeriksa semua anggotanya yang terlibat. Setelah semua berkas penyidikan lengkap, kami menuntut pelakunya dibawa ke meja hijau untuk menerima hukuman yang setimpal, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tempo juga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memerintahkan jajarannya di Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri untuk memproses pelaku secara disiplin profesi dan memastikan kasus ini merupakan aksi kekerasan terakhir yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.

Tempo memohon bantuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Dewan Pers, untuk melindungi korban dari ancaman kekerasan lebih lanjut dan mengawal proses hukum atas kasus ini.

Tempo menghimbau semua pihak untuk menghormati kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers, demi terjaminnya hak publik untuk tahu dan mendapatkan informasi yang akurat mengenai isu-isu yang penting bagi orang banyak.

Di kasus nasional, LBH Pers mencatat tahun 2018 sebanyak 30 persen dari 71 kasus kekerasan terhadap wartawan didominasi polisi. Pada tahun  2019 angka kasus meningkat, terdapat  79 kasus kekerasan terhadap jurnalis dimana  33 kasus kekerasan dilakukan oleh polisi, 17 kasus dilakukan warga, 7 kasus oleh public. Sedangkan kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2020 mencapai 117 kasus. Angka ini tertinggi sejak pasca reformasi. “Tahun 2020 jumlah kekerasannya paling banyak pasca reformasi, jadi ya artinya tahun 2020 tahun yang terburuk pasca reformasi bukan hanya di era Jokowi saja.

Sementara di Sulawesi Tenggara, data yang dihimpun organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kendari menyebut, dalam tiga tahun terkahir kurun waktu 2017-2020, angka kekerasan jurnalis di Sultra sekitar 18 kasus. Rata-rata ini kasus kekerasan konvensional, penghalang-halangan saat melakukan peliputan, perampasan alat peliputan, intimidasi juga beberapa kasus tindak kekerasan.”Dari data yang dihimpun di tahun 2019 selama 3 tahun terkahir itu, aktor tindak kekerasan dilakukan oleh oknum kepolisian. Di tahun 2020 lalu kasus kekerasan yang dicatat ada tiga kasus,”kata Rosnawanti Fachri, Ketua AJI Kendari.

Entah sampai kapan watak kekerasan di institusi kepolisian ini berakhir?

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *