Footnote

Kikiawu: Drama Dalam Sebuah Sirsak

×

Kikiawu: Drama Dalam Sebuah Sirsak

Sebarkan artikel ini

 

Perjalanan yang diimpikan ini harus menunggu sampai sebuah sirsak di pekarangan rumah masak di pohonnya.

Ini hari gembira bagi gadis kecil, Wauri. Akhirnya bisa turun dari dusunnya di gunung, bersama ibunya, berjalan kaki menuju pasar yang jauh di lembah, di pantai, untuk menjual sebuah sirsak.

Hasil penjualan sirsak itu, kelak digunakan membeli silikon, alat yang disebut pelindung hand phone. Untuk Wauri.

Perjalanan ini membuatnya gelisah semalam. Tak sabar, ingin sekali malam berlalu, dan kesempatan ini segera tiba.

Angkutan pedesaan lewat dini hari. Menuju pasar dari dusun-dusun Rupu, pemukiman tertinggi di Pulau Wangi-Wangi, Wakatobi, tempat keluarga Wauri tinggal.

Tapi cara ibunya mengulur waktu dan memulai perjalanan setelah terbit matahari semata siasat menyembunyikan kekurangan biaya transport.

Bayangkan, mereka memerlukan 40 ribu ongkos angkutan pulang pergi pasar. Buah sirsak mereka paling mahal laku 25 ribu. Persis kisaran harga silikon hand phone, target perjalanan ini.

Buah sirsak modal mereka itu selalu menggantung dalam kantong bening di tangan ibunya sepanjang jalan.

Wauri selalu berjalan di depan ibunya. Komposisi yang bergerak koreografis, kehendak para ibu. Macam naluri para induk: melindungi, dengan menempatkan anak pada batas pantauan mata.

Sebelas tahun lalu Wauri lahir. Kini kelas tujuh. Namanya adalah panggilan-panggilan lembut untuk burung nuri oleh orang pulau yang terpukau pesona burung itu.

Diberikan pada dirinya kemudian, sebagai tali tautan keindahan dan kelembutan antara ayah dan ibunya.

Adapun untuk anak dan ibu itu, mendapatkan silikon akan mengganti semuanya. Mulai dari hari-hari panjang menunggu buah sirsak masak, hingga jalan kaki ke pasar yang melelahkan.

Sebaliknya, karena perjalanan mencari silikon itu, riwayat hidup tanaman sirsak bercerita lain.

Selama ini tak terlihat sirsak pada daftar proyek pertanian. Boleh disebut pohon sirsak yang ada sekarang hanya kebetulan tumbuh saja. Mungkin tadinya biji dari muntahan kelelawar yang menyentuh tanah. Atau karena kemungkinan dramatik ini: konon tumbuh dari pematahan dormansi biji dalam perut penduduk. Benih lalu lepas ke tanah, dan berkecambah, setelah orang-orang yang menelannya buang air di semak belukar, di belakang dusun.

Bibitnya secara tak sengaja ditemukan tumbuh diantara belukar. Penduduk memindahkannya ke pekarangan, atau kebun. Menanam dan merawatnya.

Sirsak di Wakatobi sebenarnya mudah tumbuh. Teratur berbuah. Turun-temurun telah dikenal berkhasiat. Begitu pula tertulis dalam pustaka moderen.

Daunnya mengandung senyawa anti kanker. Buahnya antitoksin. Musuh segala sakit sendi.

Akan tetapi di pulau-pulau, lebih mudah menemukan juice sirsak kemasan kotak dalam rak dan kulkas toko, dari pada mendapatkan produksi lokal buah sirsak organik.

Padahal, sebuah sirsak menerangkan bagaimana ia menebus impian berlarut-larut anak seperti Wauri. Sebuah sirsak bagai sinopsis cerita kekuatan ibu yang tumbuh menyembunyikan kesulitan pada anak yang bersandar pada kekuatan itu.

Oleh sebuah sirsak, Wauri seakan lahir baru dengan nama Wa Kikiawu. Dari kata kerja mokikiawu. Yaitu bibit terang yang pecah di ufuk timur dini hari, mengganti gelap, dan yang tersisa sore hari sebelum malam mengganti.

Wa Kikiawu, jejak terang pada kegelapan. Mengganti semuanya. Untuk tanaman sirsak.

#CeritakanWakatobi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *