Politik

Kebebasan Akademik di Tengah Pusaran Oligarki

×

Kebebasan Akademik di Tengah Pusaran Oligarki

Sebarkan artikel ini

Berdasarkan tren pelanggaran kebebasan akademik di tahun 2021 dan proyeksi untuk perlindungan dan penghormatan kebebasan akademik di tahun 2022, maka topik
kebebasan akademik menjadi pembahasan utama. Hal tersebut telah diperkirakan setahun sebelumnya (2021), bahwa kecenderungan tekanan kebebasan akademik kian meningkat dan meluas. Hal ini mengemuka saat rapat tahunan Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), yang diselenggarakan di Semarang secara hybrid pada 3-4 Februari 2022, menekankan pada refleksi kebebasan akademik di tahun 2021, dan proyeksi kebebasan akademik pada 2022.

“Memang, realitasnya kebebasan akademik masih belum sepenuhnya dilindungi dalam kehidupan kampus, sekalipun UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya Pasal 8 ayat (1) menyebutkan, Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Sedangkan dalam ayat (3) disebutkan, “Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di Perguruan Tinggi merupakan tanggung jawab pribadi Sivitas Akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi,”urai Dhia Al-Uyun, pengurus KIKA.

Prinsip-prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik yang tertuang dalam Standar
Norma dan Pengaturan (SNP) Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, yang
disampaikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menjadi pedoman
dalam perlindungan bagi segenap insan akademik. Faktanya, kampus justru kerap
merepresi insan akademik, baik terhadap dosen dan mahasiswanya sendiri.

Sepanjang 2021, KIKA mendampingi berbagai kasus pelanggaran kebebasan akademik, ada 29 kasus yang didampingi oleh KIKA. Berdasarkan kasus tersebut, Dosen, mahasiswa, kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan akademik.

Adapun tekanan dan ancaman tersebut ditandai dengan: (1). Serangan siber dan kuasa otoritarianisme di dunia digital (digital violence);(2). Penundukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas negara, pembentukan BRIN dan peleburan lembaga lembaga riset, termasuk rangkap jabatan UI berdasarkan PP 75/2021; (3). Represi terhadap aksi mahasiswa, salah satunya di isu BEM UI, BEM UNNES, serta BEM UNMUL; (4). Kriminalisasi terhadap akademisi yang menyuarakan anti-korupsi dan kebebasan akademik, seperti yang terjadi pada Saiful Mahdi, Ubedillah Badrun, Harris-Fathia;
(5). Kekerasan seksual di perguruan tinggi; (6). Intimidasi, serangan, ancaman, dan pendisiplinan di internal perguruan tinggi seperti kasus UP 45, Kasus Untad; (7). Eskalasi penangkapan/penahanan disertai ancaman dan diskriminasi pada aksi Omnibus Law,
G30S TWK, sengketa tambang illegal di Kaltim, konflik masyarakat adat Kinipan,
termasuk diskriminasi rasisme mahasiswa Papua; (8). Solidaritas terhadap akademisi
yang direpresi oleh negara, termasuk di kasus kudeta rezim militer Myanmar.

Teror ke akademisi dan masyarakat sipil terus menerus terjadi tanpa ada upaya maju perlindungannya di level negara maupun institusi perguruan tinggi. Hal ini meningkat dalam setahun terakhir. Apa yang terjadi kasus-kasus kebebasan akademik sepanjang tahun 2021, sebenarnya hanya mengulang peristiwa-peristiwa serangan yang terus menerus terjadi sejak 2015.

Maka dari itu, KIKA kembali mengingatkan Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya prinsip 2, 3, dan, 4 terkait kebebasan penuh mengembangkan tri dharma perguruan tinggi dengan kaidah keilmuan, mendiskusikan mata kuliah dan pertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, dan larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang
berintegritas.

Outlook kebebasan akademik pada tahun 2022, semakin menguatnya otoritas kampus yang berkelindan dengan kepentingan oligark akan memperberat agenda perlindungan dan pemajuan kebebasan akademik. Termasuk, berbagai upaya subversif negara dengan tetap melanggengkan berbagai produk undang-undang “karet”, seperti UU ITE.

“Seharusnya, ruang demokrasi masyarakat sipil dan kebebasan akademik semakin
melembaga, dengan mengutamakan kepada otonomi perguruan tinggi, termasuk
melindungi segenap insan akademik dari upaya represi, pendisiplinan, dan pembatasan,”kata Mughis Mudhoffir, anggota KIKA Indonesia. SK

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *