Historia

Kahedupa dan Musim Panen Jagung

×

Kahedupa dan Musim Panen Jagung

Sebarkan artikel ini
Warga saat hendak memanen jagung di kebun mereka. foto: Waode Surti Ningsi

Kahedupa yang dikenal dengan nama Indonesia ‘Kaledupa’ adalah sebuah pulau di Kabupaten Wakatobi, yang berdasarkan pembagian wilayah distriknya terdiri dari dua kecamatan yakni Kecamatan Kaledupa dan Kecamatan Kaledupa Selatan. Pulau Kahedupa sendiri dipenuhi kekayaan yang melimpah yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa untuk dikelola sebagaimana mestinya demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat Kahedupa. Kekayaan tersebut meliputi melimpahnya potensi laut dan tanahnya yang subur. Potensi alam inilah yang menjadi ruang mata pencaharian bagi masyarakat Kahedupa. Dari potensi tersebut, membentuk masyarakat dengan profesi sebagai nelayan dan petani. Kedua profesi ini adalah identitas masyarakat Kahedupa. Selebihnya adalah masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan berprofesi sebagai pedagang, PNS, dan perantau.

Dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, masyarakat masih bekerja dengan system tradisional. Baik sebagai nelayan dalam menangkap ikan dan budidaya rumput laut, maupun sebagai petani dalam bercocok tanam. Kearifan masyarakat dalam beraktivitas untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dengan cara tradisional, telah turun temurun diwariskan oleh leluhur. Profesi nelayan banyak digeluti oleh masyarakat yang tinggal dan hidup di pesisir laut, seperti suku Bajo yang murni berprofesi sebagai nelayan. Sedangkan profesi petani digeluti oleh masyarakat Kahedupa yang berada di darat. Ada pula, masyarakat yang berprofesi sebagai petani rangkap nelayan karena pemukimannya yang berada di darat dan dekat dengan pesisir seperti Masyarakat Desa Sombano, Desa Tampara, Desa Kasuari, Desa Peropa dan masih banyak desa-desa lainnya.

Di bidang perikanan masyarakat memanfaatkan laut dengan mencari ikan, kerang, budidaya rumput laut, dan lain-lain sebagainya.Di bidang pertanian, masyarakat bercocok tanam dengan menanam aneka tanaman yakni ubi kayu yang merupakan makanan pokok masyarakat Kahedupa, menanam ubi kano dan ubi opa, menanam jagung serta aneka tanaman jangka panjang seperti kelapa, asam, pisang, jambu mete, mangga. Selain itu, tanah Kahedupa berpotensi ditumbuhi aneka macam tanaman pekarangan untuk obat seperti kunyit (putih dan kuning), buah mengkudu, serai dan tanaman hutan sepertipopasa, dan jenis tumbuhan herbal lainnya.

warga memeriksa secara rutin perkembangan tanaman jagung mereka. foto: Waode Surti Ningsi

Di Kahedupa, dikenal dengan dua musim tanam yakni Vaha (Barat) dan Timu (Timur). Kalau memasuki musim tersebut, masyarakat biasa bergumam te Vaha mo, te Timu mo. Artinya, sudah musim Barat dan atau sudah musim Timur. Musim Vaha ditandai dengan datangnya hujan dengan curah hujan yang cukup banyak dan berangin, namun diselingi dengan adanya sinar matahari dalam jangka waktu beberapa hari, kemudian hujan lagi, berlangsung selama 3 (tiga) bulan.Sedangkan, pada musim Timu (timur) ditandai dengan turunnya hujan yang cukup banyak dan terus-menerus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan.Setelah kedua musim itu berakhir, akan datang kemarau panjang yang berlangsung selama 3 (tiga) bulan.

Pada musim Vaha ini, dimanfaatkan oleh masyarakat di darat untuk menanam jagung, Ubi Opa dan Ubi Kano. Sedang ubi kayu dapat ditanam kapan saja, dapat dipanen dalam waktu 4 bulan kemudian, hingga setahun kemudian dan bahkan lebih dari itu. Sedangkan tanaman jagung, ubi opa dan ubi kanoharus dipanen dalam waktu 3-4 bulan dari masa tanamnya.

Musim saat ini tidak dapat diprediksi lagi karena berubah-ubah.Pada tahun 2020-2021 saat ini, musim Vaha mulai Nampak pada akhir Oktober 2020 lalu, diawali dengan hujan yang terus-menerus menandakan bahwa saatnya petani menanam jagung. Setelah pada pertengahan Januari – hingga pertengahan Februari 2021, jagung mulai dipanen. Namun, sayang seribu sayang, harapan petani untuk memperoleh hasil panen yang mencukupi hanya menjadi pelipur lara. Masih sama dengan situasi tahun 2020 yang lalu, dan bahkan lebih buruk tahun ini, tanaman jagung diserang hama ulat.

Masyarakat Kahedupa menyemai bibit tanaman sendiri, dan menyimpannya hingga tiba masa bercocok tanam tahun berikutnya. Kebiasaan ini merupakan kearifan lokal perempuan dalam menyemai bibit tanaman, utamanya bibit jagung. Jagung merupakan makanan pokok masyarakat Kahedupa, selain ubi kayu, ubi opa dan ubi kano.Jagung menjadi bahan pangan pokok utama untuk waktu setahun sebelum masa tanam berikutnya. Karena teksturnya yang tahan dan tidak mudah rusak. Disamping itu, jagung juga menjadi alat barter antara pedagang yakni dipertukarkan dengan aneka hasil laut (ikan, kerang dan seafood lainnya dari suku Bajo), serta dipertukarkan pula dengan aneka alat-alat dapur. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1990-an atau pada masa sebelumnya.

System dagang masyarakat pada masa Tahun 1990-anyakni, pedagang bahan pangan dari Kaledupa mengumpul hasil tanaman jagung para rumah tangga petani, berkarung-karung untuk dideperdagangkan di Pulau Tomia. Sebagian besar dari hasil penjualan dibarterkan dengan peralatan dapur dan alat-alat rumah tangga lainnya. Adapun, warga yang suka melakukan perjalanan berdagang ke Tomia pada Tahun 1990-an dari Desa Tampara adalah Ibu Wa Badhia, Ibu Wa Jaena, Ibu Wa Nipo, Ibu Wa Sittiara, Ibu Wa Hami, Wa Onde, dan Wa Hambere. Kapal yang biasa membawa pedagang tersebut adalah Kapal La Nuli yang oleh masyarakat setempat menyebutnya Jonso La Nuli. Sedangkan, yang suka melakukan perdagangan ke Fadu (Bajo) adalah hampir semua masyarakat Desa Tampara yang berprofesi sebagai petani dengan menjual aneka hasil pertaniannya, selain terjual dan dihargai dengan uang, juga dipertukarkan dengan aneka makanan hasil laut. System barter masih berlaku hingga saat ini di kalangan masyarakat Kahedupa(antara masyarakat yang bermukim di darat dengan masyarakat yang bermukim di laut (Suku Bajo)).

Ketika panen jagung tiba, berbagai aneka buah yang tumbuh di hutan pun siap dipanen, seperti diantaranya aneka jenis mangga, buah kenari, buah ketapang, nangka, kosambi, buah minsin, nggolotu, jambu mete, dll. Namun, situasi ini sangat berbeda jauh dengan yang terjadi saat ini.Buah-buahan dimaksud tidak seiring lagi hadirnya dengan musim jagung tiba.Hasil tanaman jagung boleh dikatakan secukupnya saja dan bahkan dipaksakan untuk persiapan bibit. Serangan hama ulat, menjadi biang kerusakan tanaman jagung. Hal ini telah berlangsung dua tahun terakhir ini yakni sejak Tahun 2020 hingga 2021.

Di Desa Tampara, memiliki tradisi yang oleh sebagian masyarakatnya masih meyakini akan sakralnya tradisi tersebut. Tradisi yang diwariskan oleh leluhur dan masih dipraktikkan hingga saat ini.

Pada musim jagung Tahun ini (2021), Musim panen jagung diawali dengan tradisi memberi/berbagi dengan alam, sebagaimana yang pernah terjadi sejak masa dahulu, yang diyakini masyarakat Desa Tampara. Tradisi tersebut dikenal dengan nama alo’a nu Sampu’a. 

Sampu’a disini adalah Sampu’a To’oge yakni sebuah tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat karena tempat inilah pertama kalinya orang ‘kebesaran’ dari Wolio datang ke Kahedupa dan melewati/menginjakkan kakinya pertama disini.

Selain itu, Di Sampu’a To’oge ini secara alamiah berdiri dua buah batu yang berlubang yang bernama Badili yang hingga hari ini masih dirawat masyarakat setempat.Dan masih tersimpan banyak cerita sejarah lainnya di Sampu’a To’oge ini.Tradisi alo’a nu sampu’a dilakukan setiap hari Jumat pagi tiap setahun pada musim panen jagung. Oleh masyarakat diyakini bahwa jika tradisi tersebut tidak dilakukan, kemudian lebih awal mengonsumsi jagung muda, maka penghuni alam seperti binatang yang berwujud buaya dan biawak menghampiri orang bersangkutan.

Berbagai agenda pada musim jagung dilakukan, mulai dari perombakan lahan (te bemba’a), masa tanam (te hembula a) hingga masa panen (te tobe a) dilakukan secara gotong royong. Kebiasaan masyarakat dalam bergotong royong dipraktikkan sejak dahulu kala.Dan masih ada hingga hari ini.Meski, tak seramai seperti dahulu hingga awal tahun 2000-an. Musim jagung diramaikan dengan tradisi gotong royong dan kebersamaan.

Di kebun pada saat panen jagung, akan diramaikan dengan tradisi rampu-rampu (bakar-bakar jagung), patolla te tofu gandu (tebu yang dibakar dan diledakkan), sambil membawa panci dan masak jagung di kebun. Siapa pun yang terlibat pada masamenanam dan masa panen, diberi imbalan dengan diberi sebagian jagung hasil panen atau dibalas dengan membantunya  ketika ia akan melakukan panen jagung di kebunnya.

Tradisi membuat dodol jagung. foto: Waode Surti Nigsi

Setelahnya,di desa diramaikan dengan tradisi buat jabbari dan jojolo (dodol). Jabbari dan jojolo adalah dua jenis makanan khas dengan bahan baku dari jagung. Tradisi ini dilakoni oleh muda mudi desa yang bekerjasama mulai dari proses menumbuk (menggunakan lesung untuk membersihkan biji jagung dari kulit halusnya), menggiling (memecahkan butiran biji jagung), memasak, menyajikan hingga santap bersama. Tradisi ini memiliki nilai merekatkan hubungan dalam hidup bermasyarakat. Bagi muda mudi, acara hejabbari a (membuat jabbari) dan hejojolo a (membuat dodol) adalah ajang hiburan, silaturhami dan perkenalan muda mudi desa.

Selain itu, aneka makanan lokal yang berbahan baku jagung pun dibuat dengan berbagai kreasi seperti tumbu kulamba (bubur jagung yang pengolahannya dimulai dari jagung (tua) ditumbuk sampai mengelupas kulit halusnya, kemudian dimasak dengan santan), kandole (jagung tua yang pengolahannya digiling, ditumbuk sampai terkelupas kulit halusnya, kemudian dicampur kelapa dan dibungkus dengan kulit jagung tua), dan kambose (jagung tua yang dimasak dengan kapur sirih).

Ketersediaan pangan jagung dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat hingga satu tahun kedepannya yakni hingga musim tanam tahun yang akan datang. Persediaan makanan ‘pangan jagung’, oleh masyarakat setempat karena diyakini bahwa setelah musim Vaha, akan memasuki musim Timu yakni hujan dengan curah hujan yang cukup tinggi dan terus menerus, diperkirakan sampe 6(enam) bulan kedepannya.Sehingga, masyarakat akan terbatas dalam beraktivitas mencari nafkah yakni tidak dapat beraktivitas sebagaimana biasanya yakni berkebun dan melaut. Kemudian,3 (tiga) bulan setelahnya akan masuk kemarau panjang. Sehingga hal itu, diantisipasi oleh masyarakat dengan mempersiapkan makanan sejak dini agar tidak mengalami kekurangan makanan dan kelaparan.

Naskah dan Foto

Wa Ode Surti Ningsi

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *