Dua puluh dua tahun silam tepatnya Agustus 1999 Tahura Nipa-nipa (Dulu bernama Tahura Murhum) mencapai titik nadir kerusakan. Penomena reformasi telah membawa masyarakat untuk sekehendaknya berbuat. Tahura yang kala itu dijaga dan dilapisi berbagai aturan, seolah tidak lagi memiliki arti. Warga dengan leluasa mematok dan mengkavling kawasan hingga ke zona inti sekali pun. Padahal di kawasan ini terdapat keanekaraaman hayati, seperi; kayu besi (Metresideros petiolata), eha (Castanopsis burruana), Bolo-bolo (Adenandera celebica), bolo-bolo putih (Thea lanceolata), puta (Baringtonia recemosa), pandan tikar (Pandanus aurantiacus), jenis palem (Nengelia sp., Pinaraga caesia, dan Licuala sp.), rotan (Daemenoporos sp.), rotan batang (Calamus zollingeri), rotan lambing (Calamus ornatus var celebicus), kayu damar, kayu lawang, anoa, rusa, ular sawa, kus-kus, musang sulawesi, burung rangkong, kasturi, elang laut dan beberapa jenis kupu-kupu serta lebah alam. Di beberapa lokasi terdapat sumber air yang mengalir menjadi air terjun. Sumber mata air ini sampai sekarang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan dalam kawasan untuk kebutuhan sehari-hari.
Gejolak reformasi yang disertai hantaman krisis multidimensi telah membawa perubahan di masyarakat (ex pemilik yg diresetlement), jika sebelumnya ada ketakutan untuk mengakses kawasan G.Nipa-Nipa yang telah di tetapkan sebagai hutan konservasi pasca reformasi timbul keberanian mengolah lahan-lahan yang pernah ditinggalkan. Gerakan ini kemudian memicu warga lainnya yang sama sekali tidak ada asal usul (garis turunan) sebagai ex pemiliki lahan melakukan tindakan serupa ( didukung situasi/kondisi tahun 1999-2001 pengamanan kawasan lemah akibat transisi pengelolaan, dampak PP 62 tahun 1998).
Dalam perkembangannya beberapa kelompok masyarakat yang secara turun temurun telah mengolah dan bermukim disekitar hutan tersebut baik pengolahan untuk kebutuhan tempat permukiman maupun untuk kegiatan tanam – menanam seperti pertanian dan perkebunan, bahkan mereka telah menggantungkan pendapatan untuk kehidupan sehari – harinya sehingga sebagian hutan tersebut secara empiric bergeser fungsi dari fungsi ekologi menjadi tiga fungsi yaitu fungsi ekonomi, fungsi sosial dan fungsi ekologi.
Pergeseran ke (tiga) fungsi tersebut memberi effek negative yaitu rusaknya kawasan Tahura Murhum seluas 490.67 Ha (untuk area perkebunan 440,67 ha dan pemukiman 50 ha data hasil verifikasi Tim Evaluasi Terpadu Tahura Murhum tahun 2003) yang dilakukan 704 jiwa (data dishut Kota Kendari) sehingga dasar ini juga yang memicu adanya pembentukan sebuah opini pertentangan antara Pemerintah dan sekelompok masyarakat yang berlangsung dari waktu ke waktu dan tidak pernah ada solusi yang jelas dan terukur penyelesaiannya secara holistic walaupun Pemerintah baik Propinsi maupun Kota telah melakukan berbagai upaya penangan dengan cara persuasif, yudicatif dan yustisi namun tidak pernah mendapatkan hasil yang maksimal.
Perjalanan penguasaan lahan dan perusakan fungsi hutan telah menuai kritik dari berbagai kalangan terutama para pemerhati lingkungan utamanya mereka yang konsen pada konservasi. Protes yang dialamatkan pada pemerintah dalam hal ini instansi terkait hanyalah kritikan yang sambil lalu dan dipandang sebelah mata oleh warga yang menuasai lahan.
Bahkan mereka seolah tidak lagi peduli dengan membuka dan memperluas areal kepemilikan lahan hingga jauh ke zona inti kawasan Tahura Murhum. Ini ditandai dengan jejak-jejak perambahan kawasan, dimana saat musim panas akifitas pembakaran hutan begitu tampak di depan mata. Asap putih mengepul di hampir banyak titik di kawasan itu sebagian dari cerita ekspansi warga yang menguasai lahan Tahun 1999.
Pemerintah Daerah Sultra yang ketika itu masih dijabat Drs H Kaimoeddin menganggap laju perusakan yang berada diambang mengkahawatirkan itu harus dijawab dengan ketegasan untuk mengeluarkan warga secara paksa dari kawasan. Apalagi ketika itu pemerintah tengah gencar-gencarnya mengibarkan ”operasi sapu jagat” di sejumlah kawasans seperti Taman nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW), ibarat memantik korekyang setiap saat akan membakar api perlawanan warga Tahura.
Hasil studi sejarah yang dikaji LSM Lepmil Kendari, kawasan hutan Gunung Nipa-Nipa sejak masa penjajahan jepang telah dihuni masyarakat, saat itu masyarakat tidak memiliki keberanian untuk bermukim di pinggir jalan ( takut dengan tentara jepang ). Terdapat beberapa kampung yang berada di kawasan G.Nipa-Nipa antara lain ; Kampung Meraka, Benggaila, Lahundape, Kapontori, Tipulu, Gunung Jati, Mangga dua. Kehidupan masyarakat kampung di kawasan hutan G.Nipa-Nipa mengantungkan hidupnya dari hasil perkebunan (mangga, kelapa, sagu) dan hasil hutan (lebah madu, rotan, jenis kayu-kayuan). Mengingat fungsi kawasan hutan G.Nipa-Nipa (sumber air bersih), pada tahun 1958 Pemerintah Swapraja Laiwoi Kendari menetapkan Kawasan Hutan G.Nipa-Nipa sebagai hutan terpelihara (tutupan). Pal batas kawasan waktu itu berbentuk tanaman ( kayu kulahi / besi ) kurang lebih 2 km dari as jalan kota ( pengakuan salah seorang pewaris tanah waworaha di Kampung Lahundape).
Pada tahun 1970-1974 Karena alasan reboisasi, penghijauan dan pertahanan pemerintah dan aparat keamanan melakukan pengosongan kampong ( masyarakat dikeluarkan secara paksa rumah-rumah dirobohkan, tanaman perkebunan dibabat / dibakar ), masyarakat penghuni kampong sebagian dipindahkan kesekitar jalan kota ( Kemaraya, tipulu, benubenua ), namun sebagian besar dipindahkan ke desa Anduonohu ( Kec. Poasia saat ini ) melalui Re Settlement yang dilakukan pemerintah saat itu.
Seluruh areal kampung yang telah tak berpenghuni kemudian dihijaukan melalui program Reboisasi, kegiatan penanaman ini dilakukan oleh aparat keamanan, dan para tapol / napol. Jenis – jenis tanaman reboisasi yang masih dapat dilihat seperti ( Akasia, Caliptus, Mete, Pinus dll ). Reboisasi dilakukan secara bertahap hingga tahun 1982. setelah itu melalui Kep. Menteri Pertanian kawasan hutan G.Nipa-Nipa sebagai hutan terpelihara (tutupan) ditingkatkan statusnya sebagai hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi (suaka margasatwa).
Penetapan tersebut semakin menutup aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya hutannya. Tiga belas tahun kemudian tepatnya tahun 1995, kawasan hutan G.Nipa-Nipa ditetapkan sebahai Taman Hutan Raya (Tahura). Dasar Pertimbangan Penunjukkan menjadi Tahura yakni, pertama fungsi Tata Air, Pencegahan Erosi dan Sedimentasi Teluk Kendari. Kedua, potensi Sumber daya alam (Keanekaragaman flora & fauna) tipe ekosistem, objek wisata dan ketiga potensi wahana penelitian, pendidikan . Perangkat aturan yang mendasari penetapan kawasan hutan G.Nipa-Nipa yakni, Kepmen Hut No. 289/KPTS-II/1995 tanggal 12 Juni 1995 tentang penunjukkan kelompok Hutan G. Nipa-Nipa sebagai Taman Hutan Raya ( Tahura ) Murhum seluas 8.146 Ha.
Kepmen Kehutanan No.103/KPTS-II/1999 tanggal 1 maret 1999 tentang penetapan kawasan hutan tahura sebagai Hutan Tetap dengan fungsi konservasi, seluas 7.8775 ha.
Sejumlah permasalahan umum kawasan tahura meliputi perambahan / Penyerobotan kawasan, baik untuk perladangan maupun pemukiman. Terutama terjadi di Wilayah Adminitrasi Pemerintah Kota Kendari. Pengambilan kayu untuk ramuan rumah / pagar. Pemungutan kayu bakar secara tidak terkendali, hampir merata disemua lokasi yang berbatasan dengan pemukiman.
Demikian pula pemanfaatan air oleh penduduk secara tidak terkendali. Kelak dapat menganggu fungsi hidrologi tahura. Selain itu kesulitan melakukan pengawasan / pengamanan, karena sebagian besar batas kawasan bersinggungan dengan kawasan pemukiman. Dan lemahnya kapasitas kelembagaan (SDM & Dana) pengelola kawasan Tahura Murhum (G.Nipa-Nipa).
Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan kawasan Tahura Nipanipa secara teknis dilaksanakan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA ) Propinsi Sulawesi Tenggara. Namun pada tahun 1998 berdasarkan PP No.62 tentang Pengalihan Sebagian Urusan Kehutanan pada Pemerintah Daerah, maka Kawasan Tahura Nipa nipa di serahkan pengelolaannya pada Pemerintah Daerah (Pemprov.Sultra cq.Dinas Kehutanan ). Proses serah terima sendiri secara formal dilakukan pada tahun 2002. Terjadinya transisi pengelolaan kawasan cukup membawa dampak bagi meningkatnya tekanan terhadap Taman Hutan Raya Nipanipa.
Permasalahan tersebut telah mendorong sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yaitu LepMIL (sebagai pemerhati hutan dan pengurangan kemiskinan) bekerja sama dengan Multi Stakeholders Forestry Programme (MFP)- Departement for International Development United Kingdom (DFID) mencoba menfasilitasi pertentangan kedua pandangan tersebut yaitu pandangan Pemerintah Daerah dan se kelompok masyarakat tentang keberadaan hutan lindung tersebut.
Kegiatan LSM LepMIL ini berlangsung sejak tahun 2002 masih dilanjutkan, langkah awal yang baik telah banyak kesepakatan dan keberhasilan yang dicapai dalam tiga tahun terakhir ini antara lain perhatian para pihak tentang pelestarian kawasan hutan meningkat. Adanya Perubahan pola pikir oleh KTPH 50 % mulai berubah dari pola tanam semusim menjadi tanaman jenis MPTS. Adanya upaya melakukan konservasi lahan dengan cara teras iring pada area – area kemiringan oleh 20 % KTPH.
Selain itu disepakatinya draft kelembagaan para pihak dalam pengelolaan terpadu kawasan teluk, Tahura Nipa–Nipa, Hutan Lindung Nanga – Nanga Popalia dan Sub Das Wanggu serta lahirnya kebersamaan antara PKL, Polhut, Fasilitator LepMil, Pengurus KTPH dilapangan dalam menjalankan upaya pelestarian kawasan. Juga tersusunnya draft kerjasama antara Pemerintah Daerah (Propinsi,Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe) untuk menangani kawasan teluk, Nipa – Nipa, Nanga – Nanga dan Das Wanggu secara terpadu (data LSM LePMIL 2005).
Dibalik keberhasilan diatas ternyata belum mampu menyelesaikan konflik dibandingkan dengan permasalahan yang terjadi. Oleh karena itu masih membutuhkan penanganan yang berkelanjutan baik implementasi lapangan maupun kesepakatan – kesepakatan yang sistimatis dan konseptual serta terdokumentasi untuk lebih memantapkan antara lain koordinasi pelaksanaan secara berkelanjutan terhadap semua stakeholders dari Pemerintah, perwakilan rakyat dan masyarakat, upaya menetapkan rambu – rambu serta pengawasan terpadu bertambahnya areal perambahan baru.
Selain itu, merumuskan konsep resolusi konflik untuk melahirkan suatu tata kelola yang lebih berkualitas, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, dilain pihak terlepas dari persoalan komplik tersebut diatas apabila kita memandang lebih jauh kedepan dengan membandingkan pada kota – kota lain baik dalam negeri maupun luar negeri ternyata jika perpaduan antara gunung nipa –nipa (Tahura nipanipa ) dan Teluk Kendari merupakan potensi alam yang sangat menjanjikan apabila di kelola dengan baik artinya adanya kesimbangan pengelolaan antara kelestarian lingkungan dan ekonomi khususnya di sektor kepariwisataan.
Pertanyaan yang kini tersisa untuk mempertahankan hasil resolusi konflik yang diusung adalah muncul “ Model Seperti Apa Sebetulnya Dalam Pengendalian, Pengawasan serta Pengembangan yang di inginkan” ? Pertanyaan ini akan membawa alam pikiran kita ke suatu lingkaran pilihan antara masyarakat, hutan lindung, ekonomi dan daya saing kota. SK