Pariwisata

Desa Wisata Masa Depan Industri Pariwisata Sulawesi Tenggara

×

Desa Wisata Masa Depan Industri Pariwisata Sulawesi Tenggara

Sebarkan artikel ini
Tradisi Lulongganda di Desa Benua di Konawe Selatan. foto: Joss

Setiap desa memiliki potensi untuk dijadikan komoditas wisata unggulan. Keindahan dan keunikan alam akan menjadi wisata alam. Jika desa tersebut memiliki keunikan tradisi dan budayanya bisa menjadi destinasi wisata budaya. Jika desa tersebut memiliki menu makanan dan minuman khas tradisional yang unik baik dari bahan, rasa dan penyajiannya, bisa dijadikan destinasi wisata kuliner desa. Jika desa tersebut memiliki kerajinan-kerajinan khas nan unik bisa menjadi destinasi wisata suvenir desa. Atau jika desa tersebut memiliki peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi atau situs sejarah/prasejarah bisa menjadi tujuan wisata sejarah desa. Bahkan jika desa itu memiliki keunggulan hasil bumi atau hasil laut misalnya pertanian, perkebunan, perikanan dan lain-lain (contoh wisata petik apel, petik strawberry, petik tomat, cabai dan sayuran lain). Dunia wisata dalam kekinian banyak mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Apapun bisa dijadikan wisata yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi warga sekitar, asal jeli melihat dan memanfaatkan peluang.

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Konsep Desa Wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang khas. Kriteria suatu desa dapat dikembangan menjadi desa wisata, apabila memiliki beberapa faktor-faktor pendukung antara lain; (1) Memiliki potensi produk dan daya tarik, (2) memiliki dukungan sumber daya manusia (SDM), (3) motivasi kuat dari masyarakat, (4) memiliki dukungan sarana dan prasarana yang memadai, (5) mempunyai fasilitas pendukung kegiatan wisata, (6) mempunyai kelembagaan yang mengatur kegiatan wisata, dan (7) ketersediaan lahan/area yang dimungkinkan untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata.

Potensi wisata di Desa Wisata Sani Sani, Kab. Kolaka. Dok foto: Herna Setyanegara/ Desa Sani Sani

Nah bicara potensi wisata maka ada beberapa derah kabupaten di Sulawesi Tenggara yang sudah mempraktekkan kepariwisataan berbasis desa wisata. Kabupaten Bombana misalnya mengembangkan Desa Wisata Tangkeno di Pulau Kabaena melalui inisiatif pemerintah desa dan warga sejak 2013 silam dengan karakteristik khusus yang layak untuk menjadi daerah tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian, sistem sosial serta sumberdaya alam alam dan lingkungan alam yang masih asli dan terjaga merupakan salah daya tarik kawasan desa wisata tangkeno. Dengan kata lain Desa Wisata Tangkeno merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung informasi desa yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.

Selain Bombana, Kabupaten Konawe Selatan juga mengambil peran penting mendorong desa wisata. Ada banyak lokasi wisata di daerah Konawe Selatan, tentu saja ditunjang dengan beragam adat istiadat, budaya hingga tradisi masyarakat menjadi keunggulan tersendiri. Begitu pula dengan hasil kerajinan lokal dan kekayaan alam yang dimiliki di daerah ini, menjadi ikon yang bisa lebih dikenal masyarakat luas. Mengacu pada kriteria pengembangan desa wisata di atas, maka pemerintah daerah konawe selatan telah menentapkan dua desa wisata masing-masing Desa Wisata Namu di Kecamatan Laonti dan Desa Wisata Jati Bali di Kecamatan Ranomeeto. Desa Namu, Desa Jati Bali dan Desa Benua merupakan desa yang dikenal dengan panorama alam indah serta kental dengan kultur budayanya. Tak heran jika Desa Jati Bali dan Desa Benua ditetapkan sebagai desa wisata berbasis budaya dan adat istiadat di Konawe Selatan. Sedangkan Desa Namu merupakan desa berbasis masyarakat wisata alam laut dan pesisir. Di Desa Namu juga merupakan laboratorium alam yang merupakan sarana yang lengkap untuk mendapatkan aneka informasi terutama flora dan fauna.

Keberadaan desa wisata ini ditunjang dengan potensi alamnya, serta berdampingan dengan obyek-obyek wisata yang sudah lebih dulu dikenal masyarakat luas, seperti wisata alam laut Pulau Hari, Desa Terapung di Desa Bungin, Kecamatan Tinanggea, Savana dan Potensi Rawa di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, dan masih banyak lagi sehingga dalam pengelolaan tersebut perlu didukung oleh sarana prasarana pengunjung yang memadai dalam pengembangan sarana prasarana penunjang pariwisata lainnya.

Tradisi kariaa di Kab.Wakatobi. foto: Joss

Di Kabupaten Wakatobi yang merupakan daerah yang pariwisatanya masuk kategori super perioritas hampir seluruh desanya menjadi desa wisata berbasis bahari, karena daerahnya yang strategis berada di wilayah kepulauan tukang besi. Bahkan dari  100 desa di wakatobi terdapat sekitar 50 desa yang kini telah siap menjadi desa wisata dan dari jumlah itu sebagian telah mendapat label desa wisata. Di Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara juga tengah mengembangkan desa wisata, diantaranya Desa Sani-sani di Kolaka, kini warganya dengan giat mendorong desa wisata berbasis masyarakat.

Melihat geliat desa-desa mulai berbenah menujukkan inisitiaf telah tumbuh kuat. Sejak tahun 2013 tercatat terdapat 20 desa wisata, tahun 2016 jumlah tersebut meningkat menjadi sekitar 40 desa wisata. Pesatnya pertumbuhan desa wisata diiringi oleh meningkatnya jumlah wisatawan lokal dan mancanegara setiap tahunnya di Sulawesi Tenggara. Peningkatan jumlah wisatawan berpengaruh besar pada meningkatnya pendapatan di desa wisata.

Desa Wisata Tangkeno, Kabaena, Kab. Bombana. foto: Joss

Keran informasi yang terbuka luas melalui jasa internet sebagai wadah belajar diakui ikut mendorong perubahan perilaku masyarakat Sulawesi Tenggara dalam melihat sektor pariwisata. Perubahan perilaku ditandai dengan usaha pemerintah desa bersama warga terus membenahi desa mereka meski dengan keterbatasan sarana prasarana dan sumber daya.

Kisah sukses dan cerita besarnya pendapatan dari sektor pariwisata yang muncul di media massa mau tak mau memacu munculnya desa-desa wisata di bumi anoa. Namun, besarnya pendapatan tidak semata menjadi satu-satunya tujuan dalam mengelola desa wisata. Pokdarwis Desa Namu dan Desa Tangkeno menggunakan pariwisata untuk mencapai berbagai manfaat termasuk pembangunan desa dan memaksimalkan tujuan pelestarian lingkungan di wilayah mereka.

Pariwisata desa ibaratnya ‘perisai’ untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki desa agar tidak dirusak oleh kelompok perusak lingkungan. Keberadaan pariwisata dapat digunakan sebagai alat untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada di wilayah desa. Pokdarwis menggunakan pariwisata sebagai alat untuk melestarikan sumber air dan hutan yang keberadaannya kini semakin terancam oleh ekspansi tambang yang masiv. Sumber air pun tidak hanya terjaga kelestariannya namun juga dapat dimaksimalkan kegunaannya untuk tujuan pariwisata.

Pada dasarnya, desa wisata merupakan destinasi wisata yang dikelola oleh komunitas warga desa. Idealnya, pengembangan sebuah desa wisata berangkat dari potensi dan/atau daya tarik yang dimiliki wilayah setempat. Sebagai contoh, desa wisata di Namu, Konsel memanfaatkan pariwisata yang dikelola oleh Pokdarwis di wilayah mereka untuk memberi nilai tambah secara ekonomis industri desa wisata setempat.

Untuk mencapai manfaat yang maksimal, desa wisata harus dikembangkan dengan tujuan yang jelas dan dikelola dengan benar. Para pemangku kepentingan perlu menyadari bahwa pariwisata hanya digunakan sebagai sebuah alat untuk mendapatkan manfaat sesuai yang telah disepakati oleh seluruh anggota masyarakat di desa.

Upaya membentuk keorganisasian yang jelas menjadi dasar dalam mengelola destinasi yang dikelola desa. Menciptakan peraturan dan menyepakati batasan harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir potensi konflik yang dapat muncul di kemudian hari. Desa Pokdarwis Namu didorong untuk mengelola secara profesional, akuntabel, dan transparan. Struktur organisasi dan pembagian peran yang jelas dilakukan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Para pemangku kepentingan di Desa Namu terlibat dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk dalam membuat peraturan. Membentuk pola keorganisasian yang kuat menjadi awalan bagi desa wisata untuk menuju keberlanjutan.

Areal persawahan desa di kawasan hutan lambusango Buton. foto: Joss

Membaiknya akses transportasi di Sulawesi Tenggara telah ikut mendorong perkembangan publikasi kepariwisataan. Ditambah kian suburnya pertumbuhan media-media informasi tentang pariwisata yang berbentuk web kepariwisataan, buku panduan sampai dengan media publikasi pariwisataan lainnya yang berbasis IT mulai membuka peluang bagi pengembangan pariwisata di lokal. Disisi lain, keanekaragaman daya tarik dan atraksi wisata yang menarik tanpa adanya publikasi kepada masyarakat akan terasa hambar. Pengelola daya tarik ataupun atraksi wisata tentunya telah memiliki kiat atau strategi agar daya tarik ataupun atraksi wisata yang ditawarkan ramai atau dikunjungi oleh wisatawan. Dilain pihak, penulisan tentang obyek wisata semakin marak dan mulai mendapatkan posisi penting dalam aktivitas promosi pariwisata. Salah satu cara untuk mengenalkan potensi daya tarik ataupun atraksi wisata adalah melalui media massa.

Di Sulawesi Tenggara setidaknya ada 2000 desa baik desa-desa di daerah daratan maupun di pesisir dan ada juga desa terapung yang seluruh warganya beraktifitas di atas laut. Atas semua potensi ini, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mencanangkan pengembangan 100 desa wisata selama lima tahun pemerintahan Gubernur Ali Mazi peda periode 2018-2023 mendatang. Target 100 desa wisata ini tentu saja sangat sejalan dengan pembangunan kepariwisataan berkelanjutan yang dicanangan preseiden Joko Widodo yang bertujuan untuk menggerakkan ekonomi desa demi pencapaian kesejahteraan rakyat di pedesaan. Karena itu dibutuhkan Rencana Startegis Desa Wisata (village tourisme) di Sultra, ini dimaksudkan sebagai upaya untuk merumuskan rencana strategis pengembangan desa wisata yang berbasis pada keunikan dan sektor unggulan lokal (pertanian, peternakan, jasa dll) serta melalui pendekatan partisipatif masyarakat.

Seperti yang pernah diungkapkan Hugua, bapak pariwisata Sulawesi Tenggara bahwa Desa Wisata adalah ‘harta karun’ yang jika dikelola serius dan berkesinambungan akan mensejahterakan rakyat Sulawesi Tenggara. ^^

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *