Pengalaman buruk banjir yang melanda Kota Kendari, Juli 2013, 2015 dan 2017 silam, belum sepenuhnya hilang dari ingatan warga di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Warga dibuat kalang kabut dengan air bah yang tiba-tiba datang dan menyentuh dinding rumah dan merendam semua perabot rumahnya terendam air khususnya yang berada di wilayah rendah. Beberapa warga hanya bisa menyelamatkan anak isterinya serta surat-surat berharga, lalu mengungsi ke lokasi yang lebih aman. “Sungguh pengalaman yang buruk,”kata Ridwan, warga.
Banjir kala itu membuat warga seantero Kota Kendari panik. Semua sungai dan anak sungai di kota itu meluap. Tanggul bibir kali yang telah dibangun beberapa tahun sebelumnya tak berdaya menahan luapan air bah yang datang begitu cepat. Hampir semua ruas jalan utama terendam air. Perumahan penduduk terendam pula, terutama di daerah kerendahan.
Kedalaman air di dalam rumah sebatas leher orang dewasa. Bahkan, di beberapa tempat hanya bumbungan atau atap rumah yang tersisa dari genangan air. Sejauh ini tercatat dua warga kota tewas akibat tertimbun tanah longsor. Korban harta cukup besar. Banyak kendaraan tak dapat diselamatkan, rumah, ternak, dan lain-lain.
Hampir setengah wilayah terendam banjir, mengakibatkan roda perekonomian di ibu kota provinsi Sultra ini lumpuh total. Pemerintah kota kemudian menetapkan, Kendari dalam status darurat banjir. Banjir memaksa ratusan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka, mencari lokasi yang aman. Tak sedikit dari warga kehilangan tempat tinggal, akibat rumah mereka tersapu banjir.
Kehilangan tempat tinggal juga dirasakan puluhan warga yang tinggal di sepanjang bantaran Sungai Wanggu, Sungai Lahundape, Kampung Salo dan Andonohu.
Banjir di Kendari boleh dibilang terjadi saban tahun, namun, pemerintah kota seolah kehabisan akal. Konsep jitu mengatasi banjir belum juga diterapkan. Terbukti setiap kali hujan air selalu menggenangi ruas jalan ibu kota.
Akar permasalahan banjir dan tanah longsor di Sultra tentu tidak terlepas dari terganggunya ekosistem, selain faktor intensitas hujan yang cukup tinggi dengan durasi yang berkepanjangan. Di Sultra belakangan ini marak kegiatan pertambangan nikel dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, serta pengolahan kayu. Kegiatan tersebut dipastikan merusak keseimbangan alam. Bahkan, kala masih menjabat Gubernur Sultra, Nur Alam pernah menyoal terkait pembukaan perkebunan sawit di sekitar pinggiran Kota Kendari sebagai salah satu penyebab banjir besar di kota tersebut. Perkebunan tersebut berlokasi di daerah hulu sungai Lepo-Lepo. Sungai ini memberi kontribusi limpahan air yang merendam daerah Lepo-Lepo dan sekitarnya selain tentu saja luapan air sungai wanggu. Limpasan air ini diduga berasal dari pembukaan areal sawit berada di wilayah perbatasan antara kabupaten konawe, khususnya di wilayah kecamatan sampara, serta pembukaan kebun sawit di sebagian wilayah kota kendari khususnya di kecamatan abeli dalam.
Saat melakukan reportese di perbatasan antara Kota Kendari dan Kabupaten Konawe nampak sebagian besar wilayah kawasan hutan di daerah ini telah berubah dan sebagain besar ditumbuhi tanaman kelapa sawit. Daerah ini merupakan satu hamparan kawasan hutan daerah Desa Puuloro – Bondoala, Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe. aktifitas perkebunan sangat masiv sejak beberapa tahun belakangan.
Tudingan terhadap perkebunan sawit yang memberikan sumbangsi pada bencana banjir di Kendari mungkin ada benarnya, mengingat pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti menghancurkan seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan manfaatnya, juga akan merubah landscape (permukaan tanah) hutan alam secara total. Proses ini apabila tidak dilakukan dengan baik (dan biasanya memang demikian) akan berdampak pada kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada dibawahnya. Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran permukaan (surface runoff), tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini semakin parah, apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan dengan cara pembakaran.
Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara intensif, rumput dan tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena akan berperan sebagai gulma tanaman pokok. Dilain pihak, rumput dan tumbuhan bawah ini justru berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan. Keberadaan pepohonan yang tanpa diimbangi oleh pembentukan serasah dan tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan. Mengingat energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari enerji kinetik semula, disamping itu butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leaf-drip) yang lebih besar, sebingga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan.
Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan, dari jalan utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur (perkantoran, perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak dilakukan dengan baik (lagi-lagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada semakin cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan air menjadi terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan meningkat.
Kecuali kerusakan ekosistem hinterland, banjir besar yang melanda Kota Kendari tahun ini memang tak hanya soal rusaknya kawasan hutan tetapi juga disebabkan persoalan buruknya kualitas pembangunan khususnya penataan pembangunan saluran drainase. Pertumbuhan fisik kota yang terpacu oleh maraknya pembangunan rumah toko (ruko) di sekujur wilayah kota tidak diimbangi program pembangunan sistem drainase. Industri properti tersebut justeru membuat aliran air hujan, limbah industri dan rumah tangga macet. Akibatnya luapan air kali tergenang dan merendam semua daerah kerendahan. Kota Kendari yang terletak di bibir pantai teluk sangat berpotensi dibelit persoalan genangan kelebihan air hujan berdurasi panjang. Pemerintah Kota Kendari sekarang harus melakukan langkah-langkah nyata untuk menangkal terjadinya bencana lebih dahsyat di masa-masa yang akan datang.
Lampu Merah Kawasan Hijau
Maraknya pemberian ijin pembangunan rumah toko, disepanjang jalur hijau di kawasan baypass menjadi problem tersendiri. Ironis memang. Jalur hijau yang sejatinya tidak untuk didirikan bangunan, justeru kian terhimpit oleh derasnya pembangunan rumah toko. Saat ini sekitar ratusan bangunan telah berdiri di sepajang kawasan tapak kuda, perbatasan antara Kelurahan Mandonga dan Kelurahan Andonohu.
Tahun 1990-an, kawasan hijau di sepanjang jalur tapak kuda seolah menjadi lokasi yang ‘haram’ didirikan bangunan apa pun. Wali Kota Masyhur Masie Abunawas kala itu tidak mengijinkan warga maupun pemodal untuk menyentuhnya. Masyhur sadar betul, jika keberadaan kawasan hijau penting untuk daerah resapan air kota ini. Bahkan, saat itu Masyhur yang berduet dengan Musakkir Mustafa mengeluarkan larangan keras untuk tidak memperjualbelikan lahan di kawasan hijau, karena sepanjang jalan baaypass merupakan kawasan hutan mangrove yang juga masuk dalam status kawasan konservasi teluk.
Di jalan Walikota Kendari di jabat Masyhur Masie, pemerintah kota hanya membolehkan warga untuk mengolah tambak. Tidak lebih dari itu.
Seiring perubahan rezim, kebijakan tata kelola kawasan hijau pun ikut berubah. Warga tak lagi peduli dengan himbauan. Mereka beramai-ramai mengkapling dan memperjualbelikan lahan di kawasan tapak kuda yang merupakan kawasan penyanggah Teluk Kendari.
Saat ini saja, di kawasan hijau telah berdiri sedikitnya empat puluh bangunan, berupa ruko, rumah pribadi dan usaha pompa bensin. Satu persatu kawasan tambak yang dulunya hanya berstatus pinjam pakai, kini telah ditimbun. Begitu pula, sebagaian hutan mangrove telah mulai habis dibabat. Padahal, kawasan hijau ini hanyalah satu-satunya kawasan yang menjadi daerah resapan di kota ini. Kini perlahan tapi pasti keberadaannya mulai tergusur.
Dalam UU Pertanahan bahwa hak atas tanah tidak bersifat mutlak, salah satunya ada fungsi sosial. Sehingga jika disimpulkan tanah tersebut sangat diperlukan keberadaannya untuk masyarakat lebih luas. Maka tanah harus dilepas kepemilikannya. ^^